BatamNow.com, Jakarta – Wartawan Tempo, Qaris Tajudin, nyaris meregang nyawa ketika meliput situasi di Afghanistan pasca-peristiwa 911 pada 2001 lalu. Gara-gara “iseng” mengucapkan salam, ia dicurigai sebagai mata-mata Amerika. Maklum, saat itu, situasi di Afghanistan lagi tegang-tegangnya dengan Taliban sudah terdesak oleh militer Amerika.
Dilansir Tempo.co, senjata sudah ditodongkan kepadanya, seperti di film-film. Qaris mencoba “kabur” dari situasi tersebut dengan mencoba membacakan ayat-ayat Al-Quran, hasilnya nihil. Menurut mujahidin yang menodongkan senjata kepadanya, intel pun bisa membaca ayat-ayat Al-Quran. Masuk akal.
Untungnya, Qaris ditemani oleh seorang fixer berjaringan luas. Fixer Qaris, yang bertugas membuka jalan ke Afghanistan, berteman dengan panglima-panglima perang (warlord) Mujahidin. Mujahidin yang menodongkan senjata ke Qaris walhasil menjadi ciut, mengurungkan niatnya membunuh Qaris dan melepaskannya.
“Mereka anak buah warlord-warlord itu. Sebenarnya itu gaya komunikasi mereka hehehe… Karena mereka bersenjata dan saat itu banyak yg kurang berpendidikan, jadi agak susah menghadapi orang yang berbeda,” ujar Qaris ketika menceritakan pengalamannya pekan lalu.
Saya mau cerita pengalaman berada di Afghanistan saat Taliban kehilangan kekuasaannya, 20 tahun lalu. Dari cerita itu kita bisa sedikit tahu kenapa sekarang mereka bisa berkuasa lagi.
(Foto: Qaris Tajudin) pic.twitter.com/N8iF2ETzvx
— Qaris Tajudin (@QarisT) August 17, 2021
Hal tadi adalah satu dari sekian banyak pengalaman seru yang dialami Qaris ketika dikirim ke Afghanistan. Saat itu, statusnya masih anak baru. Dirinya bergabung ke Tempo tahun 2000, setahun kemudian pada bulan November ia sudah dikirim ke Afghanistan.
Latar belakang pendidikan Qaris menjadi penyebab utama ia dikirim ke Afghanistan. Ia alumnus Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, alhasil diyakini bakal dengan mudah keluar-masuk ke wilayah konflik. Bagian “keluar-masuk”-nya benar, bagian “mudah”-nya yang salah. Dalam cerita Qaris, mencoba masuk ke Afghanistan bukan perkara gampang.
Nyaris dibunuh baru satu hal. Ia sempat ditawari bantuan masuk ke Afghanistan oleh seorang fixer asal mau disembunyikan dalam karung. Qaris, saat itu, mendengar cerita seorang wartawan nyaris tertusuk pedang ketika mujahidin melakukan random-checking. Ia ogah mengalami pengalaman serupa.
“Waktu saya masuk, beberapa kota memangg masih dikuasai Taliban. Makanya saya cari jalan yang tidak memotong frontline meski lebih jauh,” ujar Qaris. Qaris akhirnya mengambil rute Agnadabad, Jalalabad, lalu Kabul yang dirasa aman. Ironisnya, di Jalalabad lah dirinya nyaris dibunuh.
Selain sempat berhadapan dengan maut, Qaris mengatakan dirinya juga harus sering gonta-ganti pakaian selama bertugas di Afghanistan. Bukan karena panas, tetapi untuk mengganti penyamarannya. Ia harus membaur dengan warga-warga wilayah yang ia lewati menuju Kabul.
Ketika melewati daerah-daerah pedesaan, ia harus menggunakan pakaian selayaknya warga Afghanistan, sementara saat berada di Kabul, ia harus mengganti pakaiannya menggunakan jeans, karena orang-orang di kota besar lebih mengagumi dan menghargai sesuatu yang berbau asing, apalagi Amerika.
Qaris menyamakan pengalaman tersebut seperti mengikuti fashion show. Lucunya, beberapa tahun kemudian, Qaris dikenal sebagai wartawan lifestyle juga di mana “berhadapan” dengan fashion show adalah salah satu tugasnya.
Pengalaman paling unik, ia pernah ditawarkan untuk dinikahkan. Pada saat itu, fixer Qaris menanyakan apakah dirinya berkeinginan untuk melakukan nikah sementara waktu. Qaris menolaknya karena ia tidak menyetujui adanya bentuk pernikahan seperti itu.
Semua tantangan-tantangan itu dilalui Qaris dengan modal skillnya sebagai wartawan dan doa. “Modalnya cuma doa hahaha… Karena memang gak dibawain apa-apa ke Afghanistan, kecuali telepon satelit. Pernah akan dibawain rompi anti-peluru, tapi entah kenapa waktu itu gak jadi dibawa,” ujarnya.
Sekarang, Afghanistan kembali panas. Dua dekade setelah Qaris berkunjung ke sana, Taliban mengambil alih pemerintahan Afghanistan. Afghanistan resmi jatuh ke Taliban pada 14 Agustus lalu. Berbagai pihak menykini situasi Afghanistan akan memburuk di bawah Taliban yang tegas menyatakan tak akan ada demokrasi. Pihak paling khawatir adalah kelompok perempuan, takut mereka akan dimarginalkan dan hak asasinya dikesampingkan.
Taliban berjanji akan berubah. Qaris skeptis.
“Antara percaya dan tidak percaya, dalam artian ada faktor-faktor yang membuat mereka harus berubah. Geopolitik berubah, pendukung utama mereka yakni Arab Saudi pada tahun 2001 secara relatif berubah.”
“Arab Saudi berubah, mereka tidak lagi ingin dilihat sebagai negara yang mendukung kelompok keras, sehingga dukungan kepada Taliban pun berkurang.”
Menurutnya, saat ini Taliban mendapat dukungan dari China. Kedua negara terlihat saling memuji satu sama lain. Sehingga, dapat dikatakan Taliban pada saat ini terlihat lebih pragmatis. Dengan pragmatisme ini, pemimpin Taliban akan bisa berpikir lebih terbuka, mengikuti keinginan dunia internasional.
Qaris mengatakan bahwa rasa kekhawatiran dari orang-orang di luar Afghanistan pasti ada, karena mereka mungkin tidak sepenuhnya akan berubah. Namun, menurutnya, publik juga masih perlu melihat nanti saat keadaan sudah mulai stabil, apakah Taliban akan memenuhi janjinya di Afghanistan.(*)