BatamNow.com, Jakarta – Para peneliti dari Singapura telah mengembangkan tes rapid antigen (ART) Covid-19 saliva yang hasilnya bisa keluar hanya 15 menit. Mereka juga menjanjikan tes ini akan seakurat polymerase chain reaction (PCR).
Dilansir CNBCIndonesia.com, tes tersebut memiliki tingkat akurasi 97%. Serta dilaporkan bisa mendeteksi berbagai varian dari Covid-19, termasuk yang terbaru Omicron. Kit pengujian dikabarkan bisa diluncurkan secepatnya dalam waktu tiga hingga enam bulan, dikutip dari Straits Times, Kamis (09/12/2021).
Tes antigen saliva ini adalah kerja sama Duke-NUS Medical Scholl, Singapore General Hospital (SGH), National Cancer Centre Singapore (NCCS) dan National University of Singapore (NUS).
Professor Soo Kee Chee dan Professor Benjamin Sheares yang berasal dari Academic Medicine di SingHealth Duke-NUS Oncology Academic Clinical Programme mengatakan tes itu butuh persetujuan dari Otoritas Kesehatan setempat untuk digunakan.
Salah satu yang menjadi inovasi dari tes tersebut adalah bisa dilakukan kapan saja. Bahkan dapat dilakukan setelah makan.
Dr. Danny Tng yang merupakan penemu utama tes tersebut mengatakan tes berbasis air liur itu belum dianggap handal untuk dirilis dalam skala besar. Sebab konsentrasi partikel dalam virus di air liur menurun tajam setelah seseorang makan atau minum.
Kemampuan ART saliva lain untuk mendeteksi virus Sars-CoV-2 setelah makan sekitar 11,7% hingga 23,1%. Jadi menurutnya, hanya bisa dilakukan pagi hari saat setelah berpuasa semalaman dan sebelum sarapan atau menyikat gigi.
Pada akhirnya, para peneliti menggunakan trik lain untuk menciptakan tes ini. Yakni dengan menggunakan antibodi yang ditempatkan di jalur tes untuk menangkap protein virus, ditambah protein ACE 2. Protein ACE2 merupakan titik masuk virus corona untuk menginfeksi sel manusia.
“Saat virus berevolusi menjadi lebih menular, seperti Delta dan Omicron, evolusi berhubungan dengan kemampuan untuk menginfeksi, dan kuncinya adalah lewat ACE2. Jadi jika virus lebih menular, tes kami bekerja lebih baik,” jelas Professor Ooi Eng Eong dari program penyakit menular baru Duke-NUS. (*)