BatamNow.com, Jakarta – Tidak bisa dipungkiri, secara geografis, letak Pulau Batam sangat strategis, karena berdekatan dengan Singapura dan Malaysia. Namun faktanya, realitas lingkungan di sana justru sangat mengenaskan. Tidak hanya air yang menjadi masalah, hutan dan kawasan pesisir pun menjadi ‘bencana’ yang belum ada solusinya.
“Saat ini, kondisi pesisir Batam dalam keadaan darurat. Dengan luas daratan sekitar 715 kilometer persegi dan terdiri lebih dari 300 pulau, ancaman terbesar akibat climate change/ perubahan iklim dan abrasi (pengikisan daratan) adalah hilangnya daratan dari permukaan laut,” ungkap Founder Akar Bhumi Indonesia, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan, Hendrik Hermawan, Selasa (22/02/2022).
Sebagai wilayah kepulauan, tentu masyarakatnya banyak yang berprofesi sebagai nelayan. “Di Batam, telah terjadi kerusakan daerah pesisir akibat reklamasi ilegal. Ini tentu saja mempengaruhi hasil tangkapan nelayan. Bahkan, banyak nelayan kehilangan mata pencaharian karena laut dianggap tidak mampu lagi memberikan penghidupan,” urainya.
Selain disebabkan marak penimbunan pantai, penebangan pohon mangrove menjadi pemandangan di keseharian. Mangrove ditebang untuk dijadikan bahan bangunan dan arang bakau. “Hilangnya ekosistem mangrove yang menjadi pelindung pulau telah memicu abrasi terhadap daratan. Padahal reklamasi alami adalah ketika mangrove mengikat lumpur dan membentuk daratan secara pelan-pelan,” terangnya.
Hendrik beranggapan, Batam sangat membutuhkan pelindung daratan berupa ekosistem mangrove yang memiliki fungsi besar dalam menahan intrusi air laut ke darat, pemecah angin dan gelombang, penahan abrasi, penyerap karbon dan penghasil oksigen yang lebih tinggi dibanding pohon lain.
“Mengingat Batam berbatasan dengan perairan internasional, maka mangrove juga berperan sebagai ketahanan geopolitik. Hilangnya pulau terluar akibat abrasi (tergerus ombak) ataupun land subsidence (penurunan permukaan tanah) akan menyebabkan batas kedaulatan negara berkurang,” tuturnya.
Upaya penanaman mangrove yang dilakukan Ibu Negara Iriana Joko Widodo di Hutan Lindung Sei Beduk, Batam, 7 Agustus 2019 silam, dilanjutkan penanaman mangrove program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN Mangrove) di Pulau Setoko 28 September 2021 oleh Presiden, Bapak Ir. Joko Widodo, seharusnya dapat memberikan pengaruh baik terhadap upaya pelestarian ekosistem mangrove. Namun, kenyataannya masih banyak ditemukan kegiatan yang tidak mempedulikan pentingnya ekosistem pesisir di Batam,” beber Hendrik lagi.
Darurat Hutan
Tak hanya itu, Batam juga mengalami darurat hutan. Hendrik menjabarkan, pada awal penetapan Pulau Batam sebagai daerah industri, siteplan-nya 60 persen lahan diperuntukkan sebagai kawasan hutan. Namun, seiring waktu, komposisi itu telah berkurang hingga lebih kurang 40 persen saja.
“Kondisi penurunan luas kawasan hutan di Batam disebabkan adanya alih fungsi hutan dan okupasi hutan, baik untuk lahan perumahan ataupun pertanian,” tandasnya.
Pun zona hijau dari tahun ke tahun semakin berkurang. Menurutnya, harus segera diambil kajian dan tindakan hukum demi kelangsungan hutan sebagai warisan generasi masa depan dan penunjang kehidupan.
Lanjut kata Hendrik, kondisi relokasi atau hengkangnya sejumlah perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) di Batam dan menurunnya minat investasi di wilayah itu juga telah menghilangkan banyak mata pencarian masyarakat yang selanjutnya memberikan efek domino di semua lini kehidupan, terutama faktor ekonomi.
“Jumlah penduduk yang tinggi dengan bonus demografi di Batam yang tak tertampung lapangan pekerjaan, akhirnya memicu sebagian warga untuk beraktivitas di lahan-lahan hutan. Hutan sebagai zona hijau yang menjadi pendukung kehidupan masyarakat dan hak generasi terdegradasi akibat kepentingan beberapa pihak,” ujarnya.
Apalagi sebagian besar hutan berada untuk melindungi DTA Waduk yang mana fungsi waduk di Kota Batam adalah single used atau hanya untuk kebutuhan air baku masyarakat dan bukannya untuk pertanian ataupun pengairan. Keterbatasan air di Batam dan kondisi geologi (tanah bauksit) juga sangat tidak mendukung untuk pertanian. Pemberian hak pemanfaatan hutan akan menyebabkan sedimentasi dan terbawanya material pupuk (non organik) yang akan mengganggu baku mutu air waduk yang dikonsumsi masyarakat umum.
Demikian juga kawasan waduk yang seharusnya menjadi obyek vital justru akan terjerumus pada kerusakan yang fatal di DTA. “Banyaknya kasus lahan hutan di Batam membutuhkan ketegasan yang lebih serius dari pemerintah pusat sehingga kerusakan tidak semakin parah. Tingginya angka kerusakan lingkungan mungkin tidak langsung terasa dampaknya, namun pada jangka waktunya kita tidak bisa lagi menyebutnya sebagai bencana alam karena bencana yang terjadi akibat dari kesalahan manusia,” tukasnya.
Hendrik mengatakan, “Kami memohon agar Presiden Joko Widodo dapat memberikan perhatian khusus dan menyiapkan langkah konkrit demi membebaskan Batam dari status darurat lingkungan serta menyelamatkan aset alam generasi masa depan bangsa”.
Akar Bhumi Indonesia menyurati Presiden RI terkait kedaruratan lingkungan di Batam. “Kami menyampaikan surat terbuka ini sebagai dukungan untuk para stakeholders berkaitan dengan lingkungan di Batam yang menghadapi tantangan besar dalam kegiatan mereka,” pungkasnya. (RN)