BatamNow.com – Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang menduga BP Batam melakukan maladministrasi bahkan perbuatan pidana karena sudah menangani dampak sosial kemasyarakatan di Rempang sebelum Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2023 diterbitkan.
“Bukan hanya maladministrasi tapi pidana. Kalau maladministrasi itu kan hanya formil saja kalau ada kesalahan administrasi,” jelas Edy Kurniawan Wahid dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jumat (22/12/2023).
Hal itu disampaikan Edy kepada wartawan dalam satu diskusi bersama Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, di Batam Center, Jumat (22/12).
Adapun beleid tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional itu diteken Presiden Jokowi pada 8 Desember 2023, sebagai perubahan Perpres 62/2018.
Ia melanjutkan, ada maladministrasi yang pertanggungjawabannya hanya sebatas administrasi semisal pembatalan izin. Namun ada juga maladministrasi yang berujung pada pidana.
“Tapi kalau itu sudah sampai merugikan negara dan masuk ke dalam kategori penyalahgunaan kekuasaan, maka maladministrasi itu pertanggungjawabannya adalah pidana bukan pertanggungjawaban administrasi,” ucapnya.
Edy mengatakan, perbuatan merugikan negara ada 2 jenis, bisa merugikan keuangan negara atau merugikan perekonomian nasional.
“Merugikan keuangan negara kalau itu dipakai dari dana APBN atau APBD, atau merugikan perekonomian nasional dalam hal ini masyarakat Rempang bisa dirugikan akibat kebijakan yang tidak memiliki landasan hukum,” terangnya.
Edy menjelaskan lagi, pada aturan sebelumnya yakni Perpres 62/2018 belum ada spesifik mengatur kewenangan di Kawasan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Baru di Perpres 78/2023 pada Pasal 12 ayat (1a) diatur kewenangan Kepala Badan Pengusahaan (BP) KPBPB.
“Artinya, yang dilakukan BP Batam dalam menangani dampak sosial di Rempang sebelum keluar Perpres ini, itu adalah perbuatan melawan hukum, dan itu bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat. Dan ketika sudah ada penyalahgunaan kewenangan itu bisa menjadi pintu masuk korupsi,” urainya.
Tapi kenyataannya, sebelum Perpres 78/2023 diterbitkan, BP Batam disebutnya sudah mulai menangani dampak sosial di Rempang.
Adapun Pasal 12 ayat (1a) Perpres 78/2023 menyebut, Dalam hal Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan berlokasi di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, kewenangan gubernur dalam Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Sementara pada Pasal 1 ayat (3) dijelaskan bahwa, Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan adalah penanganan masalah sosial berupa pemberian santunan untuk pemindahan masyarakat yang menguasai tanah yang akan digunakan untuk pembangunan nasional.
Ketika dikonfirmasi terkait legal standing BP Batam menangani dampak sosial Rempang Eco-City sebelum Perpres 78/2023, Kabiro Humas BP Batam Ariastuty Sirait tak merespons pesan dikirim redaksi BatamNow.com, Jumat (22/12).
Sementara BP Batam sudah dan masih menggeser warga yang telah setuju digeser dan bersedia tinggal di hunian sementara dahulu. Per 7 Desember 2203, disebut sudah 86 KK menyetujui pergeseran.
Dalam pergeseran sementara ini, mereka diberi biaya hidup Rp 1,2 juta per orang, dan Rp 1,2 juta lagi per KK bila menacri sendiri hunian sementara.
Terkait anggaran yang digelontorkan sebelum Perpres 78/2023 ini, Kabiro Humas BP Batam Ariastuty Sirait juga belum menjawab.
Keliru Bila Perpres 78/2023 Disebut Solusi
Edy juga menilai keliru bila Perpres 78/2023 disebut sebagai solusi atas polemik Rempang Eco-City.
“Sebenarnya Perpres ini adalah bentuk atau kebijakan yang keliru karena di Perpres ini kan seolah-olah yang mau ditangani itu adalah masyarakat yang terdampak dari pembsngunan yang menguasai tanah negara. Jadi objek dari Perpres ini adalah tanah negara,” katanya.
Sementara di Pulau Rempang, lanjut Edy, persoalannya adalah warga meyakini tanah yang dikuasai secara turun-temurun hingga ratusan tahun adalah milik mereka.
“BP Batam mengklaim bahwa itu tanah negara tapi mereka tidak mampu membuktikan apa bukti-bukti mereka, apakah itu punya SK atau ada HGU atau hak pakai. Sampai sekarang kami belum pernah lihat apakah BP Batam punya bukti penguasaan lahan,” tukasnya.
Sementara menurut Undang-undang Pokok Agraria dan Perpres 94/1997 tentang Pendaftaran Tanah, sebenarnya pengakuan kepemilikan tanah itu cukup diukur minimal 20 tahun.
“Pasal 24 itu mengatakan kalau warga tidak memiliki dasar kepemilikan misalnya sertifikat atau surat-surat lain, minimal menguasai tanah itu minimal 20 tahun secara berturut-turut. Artinya secara normatif, warga itu diakui oleh hukum kepemilikan. Ini undang-undang yang mengatakan, bukan kita mengarang,” tegasnya.
Tapi lagi-lagi permasalahannya bukan di ketentuan perundang-undangan.
“Masalahnya ini kan ada di Pemerintah, ada di BP Batam, ada di Kementerian ATR atau kementerian BKPM yang tidak mau mengakui status kepemilikan warga,” ucap Edy.
Ia pun menekankan, sebaiknya Perpres 78/2023 tidak dijadikan instrumen baru untuk kembali mengintimidasi atau membujuk warga Rempang untuk pindah. “Karena Perpres ini diperuntukkan untuk tanah-tanah yang clear itu adalah tanah negara, warga juga mengaku itu tanah negara,” katanya.
Edy pun meminta agar pemerintah menghentikan dulu program Rempang Eco-City, apalagi sudah mendekati pesta demokrasi Pemilu 2024.
“Tolonglah hentikan itu, disetopkan semua ambisi-ambisi proyek strategis nasional termasuk Rempang ini kalau bisa dihentikan untuk menghindari kerugian yang lebih besar,” pintanya. (D)