BatamNow.com – Meski rencana penggusuran warga Melayu asli Pulau Rempang mendapat penolakan keras, namun BP Batam telah mengeluarkan biaya sebanyak Rp 119,71 miliar lebih untuk kegiatan percepatan pengembangan Rempang Eco-City.
Anggaran sebesar itu baru penggunaan tahun 2023, belum termasuk anggaran yang dikeluarkan selama tahun 2024 yang diperkirakan melebihi anggaran 2023.
Adapun pengeluaran anggaran sebesar itu tercatat dalam laporan akuntabilitas kinerja BP Batam tahun 2023 lalu.
Untuk anggaran pembebasan tanah dan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di kawasan Rempang sebesar Rp 65,28 miliar.
Biaya kegiatan relokasi pemukiman warga di Pulau Galang terdampak pembangunan kawasan Rempang, yang gagal dilaksanakan tahun itu sebesar Rp 33,57 miliar.
Sedangkan untuk penanganan relokasi sementara dampak pembangunan Rempang, seperti uang sewa tunggu, biaya hidup dan lainnya sebesar Rp 20,85 miliar.
Lain lagi kucuran anggaran tahun 2024 yang menurut sumber di gedung “Elang Emas” kantor BP Batam, besarannya melebihi anggaran tahun 2023, atau diprediksi di atas Rp 119 miliar lebih.
Kalau asumsi angaran pengeluaran tahun 2024 di atas tahun 2023, dapat dimaknai asumsi total pengeluaran BP Batam dalam 2 tahun untuk percepatan pengembangan di Rempang mencapai ratusan miliar.
Satu asumsi besaran angka yang belum terkonfirmasi karena ketertutupan pihak BP Batam.
Kepala Biro Humas BP Batam, Ariastuty Sirait yang sentralistik sebagai sumber informasi di BP Batam, tak merespons konfirmasi BatamNow.com.
LI-Tipikor Pertanyakan Anggaran Percepatan Rempang Eco-City
Terkait pengeluaran anggaran tahun 2023, meski pemerintah membatalkan relokasi masyarakat Rempang ke Dapur 3 Pulau Galang, namun dalam laporan akuntabilitasnya, BP Batam tetap juga mengucurkan dana sebesar Rp 33,57 miliar.
“Lho gimana BP Batam menjelaskan ini ke publik terkait akuntabilitasnya dalam pengucuran anggaran, tempat relokasi di Galang, batal, tapi ada pengeluaran sampai puluhan miliar,” kata Panahatan SH, Ketua DPP Kepri LI-Tipikor dan Hukum Kinerja Aparatur Negara.
Hingga 24 September 2024, BP Batam mengklaim telah memfasilitasi pergeseran sebanyak 202 KK dari Pulau Rempang, ke hunian sementara.
Sedangkan total yang hendak digeser menurut BP Batam, sebanyak 821 KK. Artinya dalam masa setahun baru sekitar 24,6 persen KK yang berhasil digeser sementara dengan biaya ratusan miliar rupiah.
Per 25 September 2024, baru 3 KK yang mendapatkan rumah pengganti di Tanjung Banun bagi yang telah setuju pergeseran dan sebelumnya ditempatkan di hunian sementara.
Terkait pengeluaran anggaran inilah yang dipertanyakan oleh LI-Tipikor Kepri. Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas penggusuran warga.
Menurut Kepala BP Batam, pihaknya terpaksa mengeluarkan anggaran itu karena dukungan dana dari pemerintah pusat belum ada hilalnya.
Rudi mengatakan, akan memanfaatkan setoran uang wajib tahunan (UWT) dari pengelola 17.600 hektare wilayah Rempang, yakni PT MEG (Makmur Elok Graha). PT MEG sudah menjadi pengelola sejak 2004.
“Kalau lahan ini kita bisa berikan, kan ada kewajiban pengusaha bayar uang wajib tahunan Otorita Batam atau BP Batam. Per meternya sudah ada hitungannya, sehingga kalau kita kali 7.000-an kita bisa dapat Rp 1,4-1,5 triliun, artinya Rp 1,6 triliun kita tinggal tambah Rp 100 miliar,” kata Rudi sebagaimana dikutip media.
“Tapi lokasi yang kita mau tagih UWTO-nya harus clear and clean, jadi tidak boleh ada penguasaan oleh masyarakat, perusahaan, atau yang lain,” tegasnya.
“Pertanyaanya, apakah PT MEG sudah membayar lunas UWT total lahan yang akan digunakan pengembangan investasi Tiongkok di Rempang, BP Batam hatus transparan dan akuntabel,” tegas Panahatan. (red)