BatamNow.com, Jakarta – Semakin banyaknya perusahaan yang akan mengeruk pasir laut di sejumlah wilayah di Kepulauan Riau, sebagai dampak dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, melahirkan keprihatinan.
Bayang-bayang ancaman kehidupan warga pesisir dan hilangnya pulau-pulau bak ada di pelupuk mata. Benarkah dibukanya kembali moratorium ekspor pasir laut terkait Pemilu 2024?
“Dilihat dari waktu keluarnya PP tersebut, sekitar 9 bulan sebelum Pemilu 2024, sudah bisa terbaca. Ada indikasi penambangan pasir laut yang dikamuflasekan dengan istilah sedimentasi laut itu, digunakan sebagai alat mengeruk cuan,” duga Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), kepada BatamNow.com, di Jakarta, Kamis (11/01/2024).
Menurutnya, keluarnya PP itu juga secara cepat dibuatkan aturan turunan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023. “Padahal, sekitar September 2023, Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD telah merekomendasi pembatalan PP 26/2023 tersebut, tapi tidak digubris oleh Menteri KP. Karena pada pertengahan Oktober 2023, justru keluar Permen KP 33/2023,” jelasnya.
Walhi dalam rekomendasinya memasukkan pencabutan PP 26/2023 sebagai agenda prioritas. Mereka menilai regulasi tersebut bermasalah dari aspek hukum, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup.
“Dalam aturan tersebut terlihat pemutarbalikan tujuan yang sebenarnya, yakni pengambilan sedimen atau pasir laut untuk tujuan komersial. Penyebutan frasa ‘sedimentasi laut’ diambil seolah mau memulihkan ekosistem, padahal ada tujuan tersembunyi di balik itu. Begitu juga penggunaan kata ‘pembersihan’ digunakan untuk mengelabui pengambilan material dengan cara keruk atau isap menggunakan kapal,” terangnya.
Parid menilai, Singapura adalah negara yang paling diuntungkan dengan dibukanya kembali keran ekspor di Indonesia. “Bila pengerukan pasir laut kembali dilakukan, maka diperkirakan di Kepri ada 355 (85,34%) desa tepi laut dan 61 (14,66%) desa bukan tepi laut yang terancam hilang,” jelasnya.
Cari Cuan
Ditambahkannya, kuat dugaan PP 26/2023 merupakan ‘alat’ dari kelompok tertentu untuk meraih cuan, terutama dalam menghadapi Pemilu 2024.
Hal tersebut diperparah dengan melihat melihat komposisi lembaga legislatif, di mana 6 dari 10 anggota DPR RI berasal dari kelompok pengusaha. Demikian juga di jajaran eksekutif, di mana mayoritas menteri berasal dari latar belakang pengusaha. “Dengan komposisi begitu, tentu kita tahu arah kebijakan yang dibuat. Pastinya mengarah pada cari cuan. Para pengusaha berupaya mendapat legalitas pemerintah, termasuk soal ekspor pasir laut ini, tanpa mempedulikan lingkungan dan nasib warga pesisir,” imbuh Parid.
Dia menilai, keluarnya PP 26/2023 membuat nasib warga pesisir dan lingkungannya berada di ujung tanduk. “Kami prihatin dengan kebijakan yang lebih mengutamakan cari keuntungan dengan mengabaikan nasib masyarakat (warga pesisir) dan lingkungan hidup,” tukasnya.
Dengan tegas, Parid mengatakan, Walhi konsisten meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan PP 26/2023 tersebut. “Nampaknya Kepri terus diobok-obok. Selain persoalan Rempang, juga ada masalah pengerukan dan ekspor pasir laut yang lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya. Padahal, gugusan pulau-pulau yang membentang di Kepri merupakan bagian dari Nusantara yang harus dijaga dan dipelihara sebaik mungkin,” pungkasnya.
Sebelumnya dilaporkan, sudah ada banyak perusahaan ‘melamar’, yang katanya mau mengeruk hasil sedimentasi laut. Sejumlah perusahan bahkan telah melakukan sosialisasi terbuka kepada masyarakat sekitar terkait rencana tersebut.
Seperti dilakukan PT Berkah Bersama Kepri (BBK) yang melakukan sosialisasi pengerukan sedimentasi laut kepada warga pesisir di Kecamatan Sugie Besar, Kabupaten Tanjung Balai Karimun, Kepri, beberapa waktu lalu.
“Dengan dikeruknya hasil sedimentasi laut, maka habibat ikan dan biota laut akan kembali normal. Selain itu, para nelayan juga akan terbantu karena lebih mudah menangkap ikan,” kata CEO PT BBK, Suprianto kepada BatamNow.com, usai sosialisasi.
Tidak Konsisten
Daerah penambangan pasir laut sejatinya sudah ditetapkan di sejumlah titik di Kepri. Bahkan, korporasi ‘pemilik’ kavelingnya juga sudah ditentukan. Sayangnya, dari sisi perizinan, banyak yang terganjal di KKP.
Keluhan itu disampaikan Alex pengusaha lokal Kepri. “Saya sudah daftar, tapi tidak bisa beroperasi karena izinnya tidak keluar juga sudah 3 tahun ini,” ungkap Alex, kepada BatamNow.com, hari ini, Jumat (12/01/2024).
Patut diduga, lanjutnya, izin pengerukan yang memakai label sedimentasi laut itu diperuntukkan bagi korporasi kolega pejabat di Jakarta. “Bisa dikatakan yang menambang nanti yang oligarki dari pusat. Saya melihat ada ketidakkonsistennya dari Menteri KP ini dalam mengeluarkan aturan-aturan,” ucapnya jengkel.
Dia mengakui, tidak ada alasan jelas mengapa izin perusahaannya tidak bisa keluar hingga kini. “Gak tahu apa alasannya. Bahkan, saya sudah datangi KKP, tapi tetap tidak ada alasan konkret,” akunya lagi.
Alex juga menambahkan bahwa Keputusan Menteri KP No. 208 Tahun 2023 bertentangan dengan Pasal 3 PP 26 Tahun 2023. “Rumit urusan pasir laut ini. Kalau pun sekarang semakin banyak korporasi yang mau ikut menambang, bisa jadi itu bagian dari oligarki pusat,” duganya.
Dia juga menduga kesehatan laut yang disebut-sebut oleh Menteri KP ibarat dongeng belaka. “Entahlah, tapi firasat saya bilang ada sesuatu di balik keluarnya PP Nomor 26 Tahun 2023,” pungkasnya. (RN)