BatamNow.com – Dari sudut teori hukum, UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) dan aturan peraturan turunannya semestinya sudah tidak berlaku lagi pasca putusan MK, kata Dr Emy Hajar Abra SH MH.
Demikian juga bila melihat ke Peraturan Pemerintah (PP) 41 Tahun 2021 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), ujar Emy saat diwawancara BatamNow.com.
“Secara teori PP itu pun nggak berlaku lagi, di putusan itu UU-nya saja ditulis inkonstitusional, cuman bersyarat dua tahun,” katanya.
Putusan MK yang intinya menyatakan UU No 11 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam, waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.”
Konsekuensinya lagi, kata pakar Hukum Tata Negara (HTN) itu, selama masa perbaikan UU secara formil, tidak boleh ada putusan strategis dan tak boleh lagi membuat aturan pelaksanaan dan aturan teknis yang baru.
“Pun pembentukan peraturan di bawahnya, kan tidak boleh lagi,” ujar Dosen Hukum Tata Negara Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Batam itu mengutip putusan MK.
Selain membuat aturan yang baru, ujar Emy yang sudah tujuh tahun mengajar di Batam, semua keputusan yang strategis tidak boleh dijalankan.
“Jadi jangankan BP Batam atau siapapun di KPBPB, tindakan dan keputusan yang strategis tidak boleh dilakukan,” tambah Emy.
Dia katakan meski secara teori hukum tidak boleh, tetapi Presiden Jokowi justru menjamin iklim berinvestasi sebagaimana kemudahan yang diatur dalam UU Omnibus Law.
“Harusnya itu tidak boleh, putusan MK itukan menyatakan hal yang bersifat strategis apalagi yang berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu,” ujar Emy.
Cuman, ucapnya, yang berdampak strategis itu siapa yang menilai? “Ini, itu strategis atau tidak,” katanya balik bertanya.
“Siapa pun, mau menteri keuangan, mau dia presiden bukan penentu strategis atau tidak,” tegas Emy.
Ia katakan, berdasarkan putusan MK semua kebijakan yang akan diambil pemerintah selama berdampak strategis, seharusnya berhenti paling lama dua tahun.
PP 41/2021 Pun Bisa Diuji. Itu Jika Publik Batam Aware
Kembali ke PP 41 Tahun 2021 tentang KPBPB (FTZ-red) turunan UU Ciptaker, bagaimana pendapat Anda, apakah dapat dijalankan sembari menunggu perbaikan?
Berdasarkan putusan MK, selama berdampak strategis apapun PP-nya tidak boleh dijalankan.
Apakah Anda menilai, misalnya, implementasi PP 41/2021 itu bersifat strategis?
Sayapun tidak tahu, siapa yang bisa menilai strategis atau tidak?
Saya misalkan, kontrak sesuatu proyek diteken dengan nilai nominal rupiahnya kecil, saya menganggap itu tidak strategis, tapi orang politik menganggap itu strategis. Multitafsir.
Apalagi implementasi dari PP FTZ Batam, FTZ Bintan dan FTZ Karimun. “Ini yang saya bilang problematik dan debatable, Jokowi mengatakan ayok itu tidak strategis tapi kalangan lain mengatakan itu strategis, jadi gimana,” katanya.
Lalu siapa yang mengontrol setiap proses UU yang inskontusional bersyarat itu semasa dalam perbaikan paling tidak dalam kurun dua tahun ke depan?
Itulah kelemahannya, saya pun bingung untuk menjawab, keputusan MK itu sangat disayangkan. Implikasinya ke mana-mana.
Lalu jika tetap ngotot PP KPBPB itu dijalankan oleh pemerintah atau Badan Pengusahaan (BP) di tiap kawasan FTZ, apa yang dilakukan oleh publik?
Nah tadi kan terkait dengan formalitas pembuatan. Sekarang terkait dengan substansi berdasarkan PP. Kalau publik merasa bahwa PP itu tidak sejalan dengan implementasi-nya itukan bisa diujikan?
Itu tergantung pada masyarakat Batam khususnya, jeli nggak melihat di sini. Seluruh regulasi bisa diuji, baik masalah struktural. Itu tergantung kejelian masyarakat. Kalau masyarakat Batam tak jeli, regulasi akan begitu terus.
Sementara sebelumnya DR Ampuan Situmeang SH MH, yang juga pakar HTN kepada BatamNow.com mengatakan putusan MK atas UU Ciptaker itu tidak terkait dengan KPBPB. “Tidak masuk dan tidak disebut dalam putusan MK,” ujarnya.
Dari sisi legislatif nasional, perbaikan terhadap dua UU itu akan dilakukan segera serta secara cermat dan hati-hati.
Menurut Anggota Badan Legislasi DPR RI, Firman Soebagyo, kehati-hatian akan dilakukan untuk meminimalkan agar tidak dibatalkan lagi oleh MK. “Maka langkah yang dilakukan DPR akan segera melakukan tahapan revisi melalui prolegnas,” katanya.
“Kami menghormati putusan MK,” kata Firman dalam webinar yang digelar PSHK bertajuk ‘Implikasi Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Terhadap Upaya Reformasi Regulasi’,” Jumat (03/12).
Menurut Firman, dua UU ini bakal masuk Prolegnas Prioritas tahun 2022.
UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diperbarui dengan UU No15 Tahun 2019 dan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan masuk daftar kumulatif terbuka dan masuk Prolegnas Prioritas 2022. (H/P/D)