BatamNow.com – Dewan Mahasiswa (DEMA) Justicia Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) merilis satu kajian dan analisis tentang implikasi dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2023, Perubahan Atas Peraturan Presiden No 62 Tahun 2018, tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional.
Berdasarkan hasil analisis terhadap Perpres itu, DEMA Justicia FH UGM menyimpulkan terdapat beberapa ketidakpatutan yang menimbulkan pengabaian hak masyarakat adat atas tanah.
Oleh karena itu, sebagai bentuk kepedulian akan konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang, DEMA memandang perlu menyampaikan Rilis Kajian dan Sikap terhadap Perpres Nomor 78 Tahun 2023.
DEMA menyikapi kondisi ini sebagai “Berlanjutnya Perampasan Tanah Masyarakat Adat Rempang”.
Dalam rilis kajian dan sikap itu sebagaimana dilansir media ini, diulas berbagai ketidakpatutan yang ditemukan pada Perpres tersebut serta implikasinya terhadap konflik Rempang yang berpotensi hilangnya sejarah atau identitas masyarakat adat Rempang.
Terkait itu terjadi ketidakpastian tempat tinggal dan ketidakjelasan peralihan mata pencaharian, potensi konflik berkepanjangan atas relokasi sepihak (involuntary resettlement).
Terhambatnya agenda reforma agraria yang pada intinya menyimpulkan beberapa poin atas dikeluarkannya Perpres Nomor 78 Tahun 2023.
Pertama, Perpres dimaksud merupakan bentuk perampasan hak dasar manusia atas kepemilikan tanah untuk hidup dan bertempat tinggal atau dalam kasus Rempang, hak Masyarakat Adat Rempang atas tanahnya.
Melalui Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, dinyatakan bahwa setiap orang bebas memilih tempat tinggalnya.
Dengan diberlakukannya Perpres a quo mengancam hilangnya tempat tinggal masyarakat adat tanpa adanya relokasi yang partisipatif.
Akibatnya, mereka akan kehilangan identitas sosial budayanya karena terjadi ketidakselarasan antara nasib hidup mereka kedepannya dengan pengetahuan dan cara hidup masyarakat adat, hukum dan kebiasaan pengelolaan hutan dan tanah adat, larangan dan keramat adat, serta hutan dan laut sebagai hidup masyarakat adat.
Kedua, Perpres Nomor 78 Tahun 2023 bertentangan dengan prinsip hukum agraria nasional, yaitu prinsip penguasaan tanah oleh negara.
Pasalnya, tanah yang dikuasai masyarakat seakan-akan merupakan tanah yang bersumber dari tanah milik pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/D dan tanah negara dalam pengelolaan pemerintah alias tanah dengan hak pengelolaan (HPL) yang merupakan bagian dari hak menguasai negara (HMN).
Konsep tanah dalam penguasaan negara bukan berarti kepemilikan tanah dimiliki oleh pemerintah, melainkan negara sebagai representasi dari kekuasaan seluruh rakyat.
Oleh karena itu, dengan berlakunya Perpres tersebut akan terjadi kesewenang-wenangan pemerintah dalam menguasai tanah dan bertentangan dengan prinsip UUPA.
Ketiga, Perpres Nomor 78 Tahun 2023 menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat akan durasi penguasaan tanah yang harus dipenuhi oleh masyarakat untuk mendapat pengakuan dan dapat menerima haknya atas penanganan dampak sosial kemasyarakatan dari pemerintah.
Hal tersebut disebabkan oleh perluasan kewenangan Gubernur tanpa disertai pembatasan yang jelas dalam menentukan lama penguasaan tanah yang berhak bagi masyarakatnya.
Ketidakpastian tersebut akan mempengaruhi kondisi psikologis warga yang dirugikan karena adanya intimidasi dan tekanan, serta sarat akan keadilan yang nondiskriminatif.
Keempat, inkonsistensi penggunaan kembali nomenklatur Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) dalam Perpres Nomor 78 Tahun 2023 menimbulkan kecurigaan bahwa Perpres ini memang dibuat “spesial” untuk menangani konflik di Pulau Rempang.
Atas terbitnya Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023, maka DEMA Justicia FH UGM menyatakan sikap:
- Menolak dengan tegas Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 yang merampas hak atas tanah masyarakat adat di Pulau Rempang;
- Menuntut pemerintah untuk segera menghentikan relokasi paksa pemukiman masyarakat adat di Pulau Rempang yang telah nyata melanggar prinsip dasar hak asasi manusia dan keadilan;
- Mendesak pemerintah mengakui dan melegalisasi tanah ulayat Masyarakat Adat Rempang, yang telah terbukti kepemilikannya secara kultur-historis;
- Mendesak pemerintah menyelenggarakan ruang dialog-persuasif dengan rakyat Rempang, serta mendengarkan dengan seksama dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat untuk menyelesaikan konflik agraria di Pulau Rempang; dan
- Mendesak pemerintah untuk melibatkan partisipasi masyarakat adat dalam proyek pembangunan Rempang Eco-City dengan memperhatikan unsur-unsur meaningful participation.
Adapun Tim Penyusun Kajian terdiri dari:
- Bima Baihaqi Candra
- Kathleen Angie Rumambi
- Muhammad Yahya Widiana
- Musanta Berpin Kembaren
- Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar
- Ursula Lara Pagitta Tarigan
Tim Penyunting:
- Jacqueline Ferina Anastasia Sibarani
- Sarah Dwi Kautsar. (red)
Yahya Widiana itu kan penulis Kompas