BatamNow.com – Gunung sampah yang kian membesar di Batam menandai krisis yang memerlukan keberanian pemerintah untuk bertindak nyata, bukan sekadar lips service.
Permasalahan ini menuntut keberanian politik (political will) yang tegas dari pemerintah, agar masalah pengelolaan sampah tidak lagi menjadi sekadar janji kampanye atau retorika kosong.
Polemik itu pun, mendapat sorotan tajam dari analis kebijakan publik dan akademisi asal Institut Indobaru Nasional Batam, Rikson Tampubolon.
“Ini bukan hanya soal sampah yang berserakan, tetapi soal komitmen dan kemampuan pemerintah untuk menciptakan sistem yang bekerja. Tanpa keberpihakan dan keberanian untuk mengalokasikan anggaran memadai dan merancang kebijakan strategis, masalah ini hanya akan terus berulang,” ujar Rikson.
Tantangannya, pemerintah harus memastikan alokasi anggaran pengelolaan sampah masuk sebagai prioritas utama dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Publik berhak tahu bagaimana anggaran ini digunakan untuk tempat penampungan sampah, infrastruktur, armada, serta pengelolaan sampah dan limbah.
Selanjutnya dibutuhkan penguatan regulasi dan penegakan hukum.
Pembuangan sampah sembarangan yang terus terjadi menunjukkan lemahnya penegakan hukum.
Pemerintah perlu menegaskan komitmennya untuk menegakkan Peraturan Daerah (Perda) dan memberi sanksi nyata bagi pelanggar, sekaligus memperbaiki sistem yang memungkinkan masyarakat membuang sampah dengan mudah dan terorganisasi.
Setiap inisiatif baru harus dilandasi dengan rencana kerja yang terukur dan realistis. Masyarakat sudah bosan dengan retorika kosong. Misalnya, pembentukan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Sampah yang diusulkan harus memiliki target jelas dengan indikator keberhasilan yang dapat dipantau secara transparan.
Selain itu perlu juga mengintegrasikan teknologi modern.
Kota-kota besar seperti Surabaya dan negara tetangga Singapura, berhasil menangani masalah sampah dan limbah karena keberanian politik pemerintah untuk berinvestasi dalam teknologi pengelolaan limbah, seperti waste-to-energy atau fasilitas pemilahan otomatis.
Batam harus belajar dari model ini dan berani keluar dari pendekatan konvensional yang biasa.
Kolaborasi para pihak mutlak sangat diperlukan. Patut dipertimbangkan pula mengundang sektor swasta untuk investasi dalam teknologi Waste-to-Energy (WTE) atau sistem daur ulang otomatis yang telah sukses diterapkan di kota-kota maju di dunia.
Krisis sampah di Batam adalah ujian nyata bagi para pemimpin, bukan hanya untuk memperbaiki sistem pengelolaan limbah sampah tetapi juga membangun kepercayaan publik.
“Masyarakat akan menilai pemerintah baru dari tindakannya, bukan janjinya. Keberhasilan dalam menangani sampah akan menjadi salah satu indikator sejauh mana pemerintah benar-benar bekerja untuk rakyat,” tegas Rikson yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Batam Labor dan Public Policies.
Melalui langkah nyata yang terukur, pemerintah baru dapat mengubah tantangan ini menjadi peluang untuk menunjukkan kepemimpinan yang berani dan bertanggung jawab. Jangan biarkan sampah menjadi simbol dari gagalnya komitmen politik pemerintah ke depan. (A)