BatamNow.com – Hampir semua tahu suasana mencekam pada 7 September 2023, yang menggemparkan itu.
Peristiwa bentrok antara massa warga Pulau Rempang dengan aparat kepolisian dan Tim Terpadu di Jembatan Sultan Zainal Abidin, Barelang.
Terekam jelas bagaimana peristiwa itu, kala warga masyarakat adat Melayu ditembaki dengan gas air mata.
Demikian juga unjuk rasa dua jilid di depan kantor BP Batam itu. Salah satunya berakhir rusuh. Ada tersangka dari pengunjuk rasa yang masih ditahan polisi.
Di rangkaian peristiwa itu, kondisinya tak lekang dari aksi “piting-memiting”.
Beberapa personel aparat juga ikut korban timpukan batu dari arah pengunjuk rasa yang mungkin kerap melahap kepiting.
Memantik isu nasional. Bahkan kabar peristiwa itu menggema nun jauh hingga ke negeri seberang.
@batamnow [LATE POST] Mengerikan, Lagi Aparat Memberondong Masyarakat Rempang dengan Pe|uru Gas Air Mata Baca Beritanya di BatamNow.com #batamnow #batamtiktokcommunity #batamhits #batamnews #batamisland #batamsirkel #kotabatam #batampunyacerita #semuatentangbatam #galang #rempang #barelang #bpbatam #muhammadrudi #fyp #fypシ #fypシ゚viral #jokowidodopresidenkita #jokowidodo #rempangecocity #rempanggalangtanahmelayu ♬ Ibu Pertiwi – Iwan Fals
Itu semua dipicu tindakan sepihak dari BP Batam yang berupaya merelokasi paksa warga masyarakat adat Melayu dari tanah leluhurnya. Lalu warga menolak keras demi mempertahankan marwah dan sejarah kampungnya
Mungkin saja pada hari yang pelik itu, para tauke arena gelanggang permainan (gelper) di Batam tengah serius memirsa lewat medsos peristiwa pilu nan perih yang menerpa warga Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam itu.
Bisa jadi yang terlintas dalam benak para bandar gelper itu: peraturan pemerintah yang mana gerangan yang dilanggar warga Pulau Rempang sehingga sampai diberondong dar der dor?
Sementara operasional mesin “pencetak uang tak berseri” di arena gelper yang terang-terangan melanggar peraturan jam operasional selama bertahun-tahun, tak pernah “dipiting” apalagi terkena der dor gas air mata aparat.
Jam operasional gelper yang seharusnya terbatas, tapi di-gaspol para bandar dengan sesuka hatinya, hingga 24 jam per hari.
Pelanggaran terang-terangan yang luput dan tanpa tindakan apapun dari Satpol PP maupun aparat keamanan di Batam.
Selain dugaan melanggar jam operasional, arena gelper juga diduga mengeksploitasi naker (wasit gelper) terkait jam kerja yang over. Belum lagi hak-hak para karyawan yang disebut tak sesuai ketentuan ketenagakerjaan. Dikatakan terjadi kerja ala romusha di sana. Dan bertahun-tahun bekerja, tapi statusnya tak lepas sebagai pekerja harian.
Dan sudah menjadi rahasia umum dugaan praktik judi dan perjudian di arena gelper yang tentu melanggar peraturan pemerintah.
Tapi apapun itu, tampaknya, kegiatan itu tak perlu merepotkan pemerintah dan pihak berwenang di daerah ini. Seperti ada kohesi di sana. Sebab operasional gelper itu berjalan aman-aman saja.
Aneh memang fakta di arena gelper di Batam yang selalu riuh oleh pemain itu.
Pemerintah daerah menyebut arena itu hanya ruang hiburan dewasa dan anak anak.
Tapi masuk akalkah dalam satu arena hiburan semacam permainan capit boneka, seorang pemain bisa kalah dengan puluhan hingga sampai ratusan juta rupiah?
Bahkan ada lagi dikabarkan beberapa pemain yang “terpengkong” sampai miliaran rupiah, akumulasi kekalahannya.
Itu maka, kalau ditelisik lebih jauh, tak terkira lagi warga Batam, yang ekonominya tengkurap disedot mesin permainan gelper. Banyak pemain sampai melego aset rumahnya. Keadaan yang tak beda dengan dinamika para penikmat kasino.
Dikabarkan tak sedikit para pelaku kriminal di Batam juga menghabiskan hasil maling dan begalnya di arena gelper. Bisa saja hasil begal hari ini ludes, besok membegal lagi. Berhasil membegal lagi, lalu masuk dan habiskan lagi uangnya di arena gelper.
Demikian juga bagi yang ditandai sebagai mafia dan penjaja narkoba. Tak lepas dari jeratan jahatnya mesin gelper.
Para Bandar Gelper Miliki Gedung Apartemen
Judi dan praktik perjudian kah di arena gelper itu?
Soal kepastian hukumnya, tampaknya, tergantung kepentingan yang berkepentingan. Apa maunya.
Namun fakta di setiap arena, bentuk dan ketentuan permainan yang disuguhkan selama ini sudah sampai menghancurkan atau membangkrutkan ekonomi banyak warga Batam, khususnya.
Paling tidak dua dekade sudah ribuan mesin-mesin di arena Gelper itu dioperasikan.
Tak terbantahkan arena itu telah “menjerumuskan” sebagian warga Batam ke lubang kemiskinan.
Kewajiban pemerintah mengawasi dan membina rakyatnya dalam koridor ekosistem sosial dan ekonomi agar tak terperangkap ke hal-hal yang bersifat negatif seperti gelper beraroma judi itu, agaknya jauh panggang dari bara.
Bahkan anak-anak atau bocil pun bebas masuk ke arena gelper orang dewasa yang diduga jenis permainan judi dan perjudian itu. Dan para bocil itu ikut bermain di mesin gelanggang orang dewasa.
Sebaliknya, tersebutlah para bandar yang kaya raya menangguk cuan dari arena gelper.
Bahkan dari mereka, entah itu yang sudah eks atau bandar sekarang, konon, bisa membangun dan memiliki gedung apartemen yang menjulang ke “surga”. Artinya beberapa gedung jangkung vertikal di kota ini dicurigai hasil dari arena gelper.
Bagaimanapun marak dan suburnya arena gelper kekinian punya benang merah rencana investasi di Pulau Rempang dan pulau-pulau sekitar wilayah Kota Batam pada tahun 2000-an.
Berawal dari MoU pengembangan pulau di arah tenggara Batam, kala itu, antara Pemko Batam dengan PT Makmur Elok Graha (PT MEG).
MoU yang mencuat lagi di pusaran polemik Pulau Rempang yang memanas itu.
Dan menurut Kepala BP Batam Muhammad Rudi, apa yang terbaru dalam pengembangan Eco-City di Pulau Rempang adalah tindak lanjut dari MoU dua dekade lalu.
Pada tahun 2001 terbitlah satu Peraturan Daerah (Perda) Kota Batam Nomor 17 tentang Kepariwisataan, yang kemudian diubah dengan Perda No 3 Tahun 2003 bidang yang sama.
Inilah landasan ketentuan operasional Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Dan di Perda itulah tertulis jenis permainan gelanggang permainan (gelper) dan jenis lainnya.
Dari Perda KWTE, gelper yang marak sekaranglah “buahnya”.
Arena gelper ini seharusnya hanya diperbolehkan digelar di Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE). Tidak seperti sekarang beroperasi bebas di berbagai sudut kota ini.
Dan salah satu tujuan KWTE itu, dulu, untuk merelokasi semua arena gelper dan kasino gelap ke satu pulau dimana jauh sebelumnya sudah merajalela beroperasi di Batam.
Namun entah mengapa action plan MoU pengembangan KWTE di pulau-pulau sekitar Rempang dan Galang, terhenti.
Tapi seiring berputarnya waktu, lapak-lapak gelper beroperasi terus di Batam dan dilegalkan keberadaannya lewat Perda tersebut.
Mengacu pada regulasi daerah itu, bagaimanapun Pemko Batam telah menikmati gurihnya uang retribusi pajak hiburan hasil regulasi produk awal dari Wali Kota Batam periode 2001-2005 itu.
Karena dalam Perda tentang kepariwisataan itu ditetapkan juga besaran retribusi dari setiap jenis dan unit mesin permainan dan fasilitas pariwisata lainnya.
Belum terkonfirmasi berapa besar PAD yang diraup Pemko Batam, selama ini dari arena gelper.
Perkiraan kasar para pemerhati gelper, ratusan miliar rupiah omzet per tahun dari seluruh usaha arena gelper itu. Kalikan sendiri total jumlah rupiah yang raup para bandar, selama dua dekade. Hitung sendiri persentase PAD dari omzet sebongsor itu.
Pengadministrasian Gelper Lancar, Hak Agraria Warga Abai
Dua dekade arena gelper melanggeng dengan pelayanan perizinan yang berjalan mulus dan terkesan dengan super kilat.
Entah apa manfaat positif dari keberadaan gelper itu sampai mendapat perhatian baik-baik dari para penyelenggara daerah ini.
Mengadministrasikan perizinan gelper yang diduga arena perjudian tampak begitu lancar oleh Pemko Batam dan Pemprov Kepri.
Tapi mengadministrasikan hak agraria warga Pulau Rempang yang sudah turun temurun di Pulau Rempang tak pernah diatensi alias abai oleh pemerintah di tengah perjalanan Prona Agraria Presiden Jokowi yang diagung-agungkan itu.
Keberadaan warga masyarakat adat yang telah beranak pinak di Pulau Rempang cenderung tidak dianggap oleh pemerintah.
Seluruh Pulau Rempang dianggap tak dihuni manusia lalu ditetapkan oleh KLHK sebagai hutan lindung, hutan buru dan bentuk hutan lainnya.
Padahal warga sudah turun temurun hidup dan berkehidupan sejak tahun 1834 di Pulau Rempang. Mereka justru dituduh sebagai perambah hutan.
Sementara seluruh produk undang-undang terkait Pulau Rempang, diundangkan setelah Indonesia merdeka tahun 1945.
Di pusaran polemik, kini kondisi yang dialami sekitar 10 ribu warga Pulau Rempang di 16 kampung, sedang tidak baik-baik saja.
Paling tidak batin mereka kini bak tersayat sembilu, terlebih pasca bentrokan di tengah perjuangan mereka. Perjuangan dibarengi isak tangis untuk bertahan agar tak diusir dari tanah sejarah nenek moyang mereka.
Beda kondisi yang dialami para pemilik arena gelper “buah” MoU pengembangan Pulau Rempang yang disemai dua dekade lalu itu.
Para bandarnya kini fine-fine saja sembari menghitung cuan setiap hari dengan mesin hitungnya.
Demikian juga puluhan arena gelper yang bukan milik PT MEG, kini berjalan baik baik saja, meski ramai dengan isu “hengki-pengki”. (red)