BatamNow.com, Jakarta – Merujuk pada sejarah, hampir seluruh tanah di wilayah Kepulauan Riau adalah milik Kesultanan Riau-Lingga. Besarnya wilayah kekuasaan kesultanan tersebut, bahkan kabarnya hingga Johor (Malaysia) dan Singapura. Namun, entah kenapa sekarang ini tanah-tanah tersebut banyak dicaplok pihak lain, pun diaku-aku kepemilikannya oleh negara.
“Harus dicatat bahwa kesultanan dan kerajaan di Indonesia tidak pernah kalah perang dengan Indonesia. Kalaupun para sultan dan raja mau bergabung dengan Indonesia, bukan lantas harta bendanya juga jadi milik Indonesia,” kata Amirullah SE, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Lembaga Komunikasi Pemangku Adat Seluruh Indonesia (LKPASI) Kepulauan Riau, organisasi adat yang didirikan pada 2020 lalu, dalam perbincangan didampingi Abdul Rasyid Baharuddin SPd, Sekretaris LKPASI Kepri dengan BatamNow.com, pada acara ‘Simposium dan Petisi’ LKPASI di Hotel Grand Paragon, Jakarta, Jumat (24/02/2023) lalu.
Dia mencontohkan, tanah-tanah di Batam banyak dikuasai oleh BP Batam. Salah satunya tanah di Nongsa sejatinya adalah milik kesultanan. “Atas dasar apa BP Batam menguasai tanah-tanah tersebut? Kita harus duduk bersama, membuka dokumen-dokumen yang ada untuk memastikan bahwa di antara tanah-tanah yang dikuasai BP Batam itu ada milik kesultanan. Bukti kepemilikan tanah dari para sultan juga jelas. Itu merupakan bagian dari tanah adat atau tanah ulayat,” ujarnya.
Ditambahkannya, banyak tanah di Kepri juga diberikan oleh negara kepada para pengusaha untuk digunakan. “Kami akan coba koordinasi dengan sultan-sultan di Kepri untuk pengurusan tanah-tanah milik mereka. Kami akan telusuri sampai dimana batas-batasnya. Kebetulan djurizzat (anak-cucu keturunan) kesultanan di Kepri masih ada,” papar Amirullah.
Sementara Abdul Rasyid berharap, pemerintah bisa benar-benar mengakui raja-ratu, sultan dan keturunannya yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Juga melegalkan semua situs-situs sejarah yang merupakan bagian dari kerajaan atau kesultanan. Dalam hal ini, pemerintah mengeluarkan sertifikat legalitasnya.
Dirinya berharap, para djurrizat, baik Kesultanan Riau-Lingga maupun Bintan bisa segera berkoordinasi terkait kepemilikan tanah kesultanan agar LKPASI Kepri bisa berkoordinasi dengan pemerintah terkait sertifikat lahan. “Nongsa itu diambil dari nama Nong Isa atau juga disebut dengan Raja Isa bin Raja Ali merupakan salah satu penguasa yang pertama yang ada di Pulau Batam. Beliaulah yang memerintah di sana,” bebernya.
Bagi Rasyid, pemerintah haruslah melihat bahwa kehidupan banyak keturunan kesultanan jauh dibawah kemiskinan. “Banyak sekali djurrizat kesultanan yang hidupnya susah dan menderita,” tandasnya.
“Dipastikan, kalau pemerintah bisa mengeluarkan sertifikat untuk tanah-tanah milik kesultanan di Kepri, maka kita akan ambil apa yang menjadi hak sultan dan keturunannya. Kalau pun masih dipakai pihak tertentu, minimal harus ada kontribusi kepada keturunan sultan yang masih ada,” imbuh Rasyid.
Dia mencontohkan, warga Batam harus membayar uang wajib tahunan (UWT) ke BP Batam, sementara itu sebenarnya bukan lahan milik BP Batam. “Dulu, Pemerintah Hindia Belanda saja mau dirikan kantor harus minta izin dari sultan atau raja. Kalaupun diizinkan harus membayar uang sewa. Sekarang, malah negara dan korporasi seenaknya saja mengambil dan menguasai tanah adat. Jadi, penguasa sekarang lebih kejam daripada zaman Belanda dulu,” tegas Rasyid. (RN)
Keturunan Sultlan Riau Lingga yang terakhir masih berada di-S’pura.Apakah bisa… Baca Selengkapnya