BatamNow.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana judicial review terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Jumat (09/05/2025).
Gugatan ini diajukan oleh dua mahasiswa asal Batam, Respati Hadinata dari Politeknik Negeri Batam dan Hidayatuddin dari Universitas Putra Batam.
Dalam gugatan yang terdaftar dengan nomor perkara 58/PUU-XXIII/2025, para pemohon tidak hanya menguji konstitusionalitas UU tersebut, tetapi juga meminta agar Presiden Prabowo Subianto dan pimpinan DPR RI dikenai sanksi denda miliaran rupiah.

Melansir laman resmi Mahkamah Konstitusi, perkara ini diperiksa oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat bersama anggota panel Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih, lewat sidang pemeriksaan pendahuluan pada Jumat (09/05).
Respati menyampaikan bahwa proses pembentukan UU TNI bertentangan dengan ketentuan tata cara pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Respati, pembentukan undang-undang wajib tunduk pada UU Nomor 12 Tahun 2011, UU Nomor 15 Tahun 2019, dan UU Nomor 13 Tahun 2022. Ia menekankan bahwa UUD 1945 hanya memberikan kerangka prinsipil, bukan prosedural. “Jika tolok ukur pengujian formil hanya berdasarkan UUD 1945, maka hampir tidak mungkin dilakukan pengujian, karena konstitusi hanya memuat norma-norma dasar,” ujarnya.
Para pemohon juga menyoroti dimasukkannya RUU TNI ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 tanpa prosedur yang sah. Mereka menilai Rapat Paripurna DPR pada 18 Februari 2025 yang mengesahkan RUU tersebut melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, serta sejumlah ketentuan Tata Tertib DPR, seperti Pasal 290 ayat (2) dan Pasal 291 ayat (1).
Tak hanya itu, mereka menegaskan tidak terdapat kondisi darurat yang dapat membenarkan percepatan pembahasan sebagaimana dimaknai dalam Putusan MK No. 138/PUU-VIII/2009. Data Kementerian Pertahanan tahun 2019 pun menunjukkan bahwa prajurit TNI tetap dapat menjalankan tugas tanpa hambatan regulasi.
Isi Tuntutan
Kuasa hukum pemohon menjelaskan bahwa pihak yang dianggap bertanggung jawab secara pribadi atas pengesahan UU tersebut harus membayar ganti rugi.
Ada dua petitum utama yang diajukan:
Pertama, Petitum Primer yakni, “Meminta MK menyatakan UU TNI Nomor 3 Tahun 2025 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat”.
Kedua adalah Petitum Alternatif, “Memohon agar MK memerintahkan DPR RI dan Presiden untuk merevisi UU TNI dalam waktu 1 tahun. Jika tidak dilakukan, maka UU tersebut harus dinyatakan inkonstitusional secara permanen”.
Di petitum alternatif, para pemohon juga meminta MK:
- Menghukum Presiden Prabowo membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 25 miliar
- Menghukum masing-masing pimpinan DPR RI membayar Rp 5 miliar
- Menghukum anggota DPR yang hadir saat pengesahan membayar Rp 50 miliar
- Menjatuhkan sanksi uang paksa (dwangsom) kepada Presiden sebesar Rp 12,5 miliar dan kepada anggota DPR RI sebesar Rp 25 miliar.

Berawal dari Aksi Mahasiswa di Batam
Gugatan ini bermula dari protes mahasiswa di Batam saat Anggota DPR RI Dapil Kepri, Endipat Wijaya, melaksanakan masa resesnya di Batam pada 11 Mei 2025.
Aksi tersebut berlanjut dengan pengajuan gugatan ke MK di Jakarta.
Respati dan Hidayatuddin didampingi oleh kuasa hukum yang juga mahasiswa Batam, yakni Risky Kurniawan, Albert Ola Masan Setiawan Muda,
Otniel Raja Marulis Situmorang.
Ketiganya yang merupakan mahasiswa Universitas Internasional Batam itu, hadir dalam persidangan. Sementara satu lagi kuasa hukum mereka, Jamaludin Lobang yang merupakan mahasiswa Universitas Riau Kepulauan (Unrika), hadir melalui sambungan virtual (online).
Menurut Risky Kurniawan, sidang lanjutan akan digelar 14 hari ke depan dengan agenda perbaikan permohonan. (A)