BatamNow.com – Merasa belum merdeka seutuhnya, ratusan warga Pulau Rempang ‘merayakan’ perjuangan mempertahankan kampung dari ancaman penggusuran ataupun relokasi, Minggu (18/08/2024).
Acara yang digelar pada H+1 HUT ke-79 RI ini, dengan rangkaian dimulai pawai dari Kampung Sembulang Hulu hingga ke Simpang Sungai Raya tujuan yang berjarak sekitar 10 kilometer.
Amatan BatamNow.com di lokasi, sekira pukul 14.00, warga dari berbagai kampung sudah berkumpul di depan Posko Bantuan Hukum Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang di Sembulang Hulu.
Untuk pawai, delapan unit mobil pickup disiapkan dengan pernak-pernik mulai dari bendera Merah Putih, sayuran dan bebuahan hasil bumi Rempang. Dua unit pickup dipasang rangka sekelilingnya dan dibaut kain sehingga membentuk rupa perahu.
Selama pawai, warga Rempang konvoi. Sebagian orang naik di dalam bak muatan pickup, lainnya mengikuti dengan sepeda motor.
Pawai diiringi lagu kebangsaan Indonesia yang diputar dengan pengeras suara. Bersamaan, perwakilan warga juga menyuarakan sikap mereka yang menolak relokasi.
Setiba di Simpang Sungai Raya, warga membentangkan spanduk hingga berorasi menegaskan penolakan terhadap relokasi, yang merupakan dampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City.
Lokasi aksi di lapangan di tepi Jalan Trans Barelang, bekas kedai kopi yang kemudian menjadi Posko Terpadu untuk Rempang Eco-City. Terlihat beberapa personel aparat berjaga di lokasi, dari unsur Polri, TNI, hingga Ditpam BP Batam.
Dalam acara ini, dipertunjukkan juga silat Melayu, pantun dan puisi yang sama-sama menyampaikan pesan menolak relokasi.
Lalu lanjut orasi dan pembacaan sumpah rakyat Rempang, Galang.
“Sumpah Rakyat Rempang-Galang. Kami rakyat Rempang-Galang bersumpah: Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan; Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan; Berbahasa satu, bahasa tolak penggusuran,” ucap warga serempak.
Menjelang akhir acara, seorang wanita Rempang di barisan peserta aksi, menangis histeris saat menyampaikan keresahannya.
“Itu tanah saya pak, jangan ambil pak, punya datuk nenek moyang saya itu pak,” teriaknya sambil menangis, di antara barisan warga memegang spanduk penolakan relokasi.
Sesudah menyampaikan emosi hatinya, kaki wanita itu pun menyerah berdiri. Lalu warga lainnya bergegas memapah, mengeluarkannya dari barisan.
Rangkaian aksi ini rampung sekira pukul 16.00. Warga pun membubarkan diri, dan kembali ke kampung.
Perwakilan warga Rempang, Sukri, menjelaskan bahwa acara ini sebagai perayaan atas perjuangan mereka yang merasa masih belum merdeka.
“Ini acara kami rayakan, ini merupakan acara rakyat dan sekalian acara ini acara untuk mempertahankan kampung halaman kami. Karena selama ini kami merasa kami belum merdeka. Kami merasa terjajah oleh bangsa sendiri,” katanya.
Ia ingin agar pemerintah mendengar keinginan warga Rempang yang masih ramai menolak digeser dari kampung lelurnya.
“Kami berharap kepada pemerintah supaya mendengar aspirasi kami ini, kalau bisa tolong digagalkanlah itu Rempang Eco-City, itu harapan besar bagi masyarakat kami,” tegasnya.
Aksi ini, lanjutnya, diikuti oleh ratusan warga yang mewakili setiap kampung di Pulau Rempang.
“Dari 16 titik (kampung) itu rata-rata hadir semua walaupun beberap orang mewakili karena ini semangat kami untuk memperjuangkan tanah kelahiran kami ini,” ungkapnya.
Pada 17 Agustus kemarin, warga tidak bisa merayakan peringatan kemerdekaan HUT RI yang biasanya digelar meriah di Rempang, sebelum mereka terancam direlokasi.
“Jangankan upacara, untuk menaikkan bendera aja kami tidak menggelar apalagi jenis permainan rakyat. Karena kami merasa kami belum merdeka,” tukasnya.
Di HUT ke-79 RI pada tahun ini, warga mengaku lebih memilih menjaga kampung masing-masing dari kedatangan pihak-pihak tak diinginkan. (red)