BatamNow.com – Muhammad Al Fatih belum genap lima bulan menjadi wartawan di media online samarindakita.com.
Ia juga masih kuliah, mahasiswa semester 1 Jurusan Komunikasi di Universitas Mulawarman, Samarinda.
Ia mendapat tekanan demi tekanan karena tulisannya. Ia sudah pula menerima ancaman. Juga dibuntuti terus oleh orang yang mencurigakan.
“Itu terkait dengan berita yang saya tulis,” ujarnya kepada Dahlan Iskan. Dilansir dari disway.id.
“Berita yang mana?” tanya Dahlan Iskan.
“Saya tidak bisa menduga. Mungkin salah satu dari tiga berita yang saya tulis,” jawabnya.
Percakapan Dahlan Iskan dengan Al Fatih terjadi di Universitas Mulawarman.
Dahlan Iskan memberi kuliah umum di situ. Mahasiswa yang ingin bertanya ia minta naik panggung. Tiga orang. Lalu tiga orang lagi. Al Fatih naik panggung belakangan.
Ternyata Al Fatih lebih banyak curhat. Baru saja memulai bicara tenggorokannya tersendat. Ternyata menahan tangis. Pertahanannya tidak kuat. Ia mulai terisak.
Baru sorenya Al Fatih dihubungi Dahlan Iskan dari Balikpapan.
Dahlan Iskan meminta Al Fatih mendetailkan berita apa saja yang ia tulis.
Lalu Al Fatih menjelaskan. Pertama soal tambang batu bara ilegal. Yang jumlahnya 21 perusahaan. Ia tulis nama-nama 21 perusahaan itu. Akibatnya memang panjang. DPRD Kaltim memanggil Kepala Dinas Pertambangan. Kenapa semua itu dibiarkan.
Berita kedua, soal pedagang kaki lima yang jualan iga bakar. Di Jalan Ahmad Yani. Iga bakar Sunaryo. Pedagang itu digusur. Padahal ada pedagang iga bakar lain yang dibiarkan. Melanggarnya sama. Jaraknya pun hanya sekitar 1 km. Hanya saja yang tidak digusur itu masih milik keluarga penguasa di Samarinda.
Yang ketiga soal wacana pemotongan insentif guru. Awalnya, kata wacana itu, insentif akan diturunkan dari Rp 750 ribu ke Rp 250 ribu. Itu karena anggaran APBD untuk itu tidak cukup lagi. Alokasi anggaran insentif dipotong banyak.
Ketika wacana ini jadi berita terjadi ribut. Lalu muncul wacana lain: lebih baik insentif guru yang sudah lama jangan dipotong. Insentif guru yang masih baru saja yang dihapus.
Ribut lagi.
Sekarang wacana ini masih menunggu Peraturan Wali Kota Samarinda atau Peraturan Daerah.
Saat di dialog di Universitas Mulawarman, Dahlan Iskan menyampaikan bahwa apa yang dialami Al Fatih itulah risiko seorang wartawan. Dahlan Iskan mengakui ia pun mengalami. Tidak hanya sekali.
Bagi Dahlan Iskan, Al Fatih, di usia yang begitu muda, itu sangat bagus untuk menempa diri. Umurnya baru 23 tahun. Sudah punya pengalaman hebat seperti itu.
Lalu Dahlan Iskan bertanya kepada Al Fatih, apakah ia akan berhenti sebagai wartawan.
Jawabnya: tidak.
Apakah akan berhenti berjuang?
Jawabnya: tidak.
Dahlan Iskan juga memuji media tempat Al Fatih bekerja: samarindakita.com. Pimpinan media online itu juga ditekan pihak lain. Tapi tetap saja memuat berita yang dibuat Al Fatih. Jarang media online punya idealisme setinggi itu. Al Fatih juga puas bekerja di samarindakita.com. Gajinya memang kecil tapi idealismenya tersalurkan.
Sebagaimana ditulis Dahlan Iskan di disway.id, sejak kecil Al Fatih memang sudah suka menulis. Termasuk menulis cerpen. Maka cita-citanya memang jadi wartawan. Keinginan lainnya: jadi dosen.
Al Fatih anak kedua dari empat bersaudara. Sebenarnya ia tidak harus jadi wartawan. Ayahnya pejabat penting di Kaltim. Dari namanya ia seperti orang Jawa. Tapi Hadimulyadi adalah orang Kutai asli. Berdarah biru kesultanan Kutai.
Soal gaji Al Fatih di samarindakita.com tergolong masih kecil. Tapi soal biaya hidup ia masih punya sisa tabungan. Termasuk untuk membayar uang kuliah.
Ia memang sempat menabung ketika mendapat beasiswa yang bagus di Abu Dhabi. Ia delapan tahun sekolah di sana. Sejak kelas 6 SD. Sampai lulus SMA.
Sebenarnya ia sudah kelas 2 SMP di SMP Cordova di Samarinda. Lalu dapat tawaran beasiswa di Abu Dhabi. Ia berangkat. Harus kursus bahasa Arab dulu satu tahun di sana. Lalu harus masuk dulu kelas 6 SD. Ia mau. Maka ia perlu 8 tahun untuk sampai tamat SMA.
Sebenarnya Al Fatih dapat tawaran beasiswa lanjutan untuk kuliah di sana. “Yang ditawarkan jurusan Usul Fikih. Saya merasa tidak cocok,” katanya.
Sang ayah Hadimulyadi adalah sarjana matematika lulusan Universitas Hasanuddin. Lalu menjadi dosen. Dan mendirikan lembaga pendidikan Cordova di Samarinda. Ia aktivis Partai Keadilan Sejahtera. Sampai jadi anggota DPR dan kemudian wakil gubernur. Kini ia menjadi ketua partai Gelora Kaltim.
Dahlan Iskan pun bertanya kepada Al Fatih. “Apakah Anda berani mengkritik Pemprov Kaltim?”
“Soal batu bara ilegal itu kan kritik untuk Pemprov juga,” jawab Al Fatih.
Media kini begitu sulit mencari wartawan. Jarang ada anak muda seperti Al Fatih. (*)