BatamNow.com, Jakarta – Jika BP Batam tak memenuhi hak warga pelanggan air minum secara paripurna, dikategorikan terjadi pelanggaran HAM, kata Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi.
Hendardi berkata kepada wartawan BatamNow di Jakarta, Kamis (16/02/2023), kala diminta pernyataannya tentang kondisi buruk pelayanan air minum kebutuhan vital warga Batam.
Pantauan redaksi BatamNow.com, belakangan ini, sorotan tajam masyarakat ke BP Batam sebagai pengelola SPAM, akibat buruknya pelayanan distribusi air minum ke warga.
Selain itu, tingkat jaminan kesehatan minum yang diproduksi lalu didistribusikan ke warga konsumen, sungguh diragukan kualitas kesehatannya.
Air minum yang dialirkan BP Batam lewat jaringan perpipaan atau yang didrop dengan truk tangki air, disebut tak laik minum.
Dugaan itu bukan tanpa sebab karena keberadaan formal pengawas eksternal produksi air minum BP Batam, selama ini, diyakini belum berjalan konkret dan komprehensif.
Padahal pihak Kementerian Kesehatan dan Kementerian PUPR yang membidangi Sumber Daya Air (SDA), menegaskan pengawasan ekternal itu sangat menentukan jaminan tingkat kesehatan air minum yang didistribusikan ke pelanggan.
Menilik konstitusi negara yang melindungi rakyatnya atas hak dan kedaulatan air mengamanatkan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Itu termaktub pada Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia.
Namun bagi banyak warga Batam, nampaknya, perintah undang-undang itu tidak berlaku.
Faktanya, sebagian mereka tidak bisa menikmati air minum dan air bersih secara maksimal dan berkelanjutan akibat pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) oleh BP Batam yang buruk.
Padahal warga tetap diwajibkan membayar tagihan SPAM, sementara pelayanannya sangat buruk. Bagi pelanggan yang telat bayar, sehari pun, “denda paksa” menunggu.
Seperti dilaporkan sebelumnya, banyak warga Batam kehilangan haknya untuk mendapatkan air minum. Di antara mereka bahkan ada yang harus mengambil air di kubangan atau menampung air hujan guna memenuhi kebutuhan akan air bersih yang sejatinya menjadi hak dasar manusia yang dijamin oleh segala bentuk regulasi. Di sisi lain, banyak warga harus menunggu waktu tengah malam untuk mendapat aliran air minum, ada lagi yang disuplai melalui truk-truk yang membawa air tapi entah dari mana diambilnya dan patut dipertanyakan bagaimana tingkat higienitasnya.
Kebutuhan air Batam disuplai dari enam waduk tadah hujan yang kondisinya kini dengan air baku cukup atau bahkan melimpah. Namun melihat warganya susah mendapatkan air minum, nampaknya perlu dipertanyakan apa saja yang dikerjakan oleh BP Batam yang kerap diklaim sebagai ‘penguasa’ Kota Batam? Belum lagi Pemerintah Kota Batam yang dipimpin Rudi, yang sejatinya punya tanggung jawab penuh mencukupi kebutuhan warganya akan air minum dan air bersih.
“Ketidakterpenuhinya kebutuhan warga akan air minum di Kota Batam yang harusnya menjadi tanggung jawab BP Batam, sekaligus Wali Kota Batam, maka bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dalam hal ini dilakukan oleh Kepala BP Batam,” kata Hendardi kepada BatamNow.com, di Jakarta, Kamis (16/02).
Menurutnya, Kepala BP Batam harus paham bahwa kebutuhan warga akan air minum dan air bersih menjadi tanggung jawab negara, dalam hal ini Kepala BP Batam ex-officio, yang juga Wali Kota Batam.
Hendardi menegaskan, air minum dan air bersih merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia dan merupakan bagian dari HAM. Dalam ilmu HAM, lanjutnya, itu menjadi kewajiban negara untuk memenuhi.
“Itu hak warga memperolehnya secara adil dan masuk dalam rumpun besar hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob). Rumpun besar lainnya adalah hak-hak sipil dan politik (Sipol). Dalam konteks Hak Ekosob, negara memiliki kewajiban paripurna untuk menyediakan atau memfasilitasi berbagai kebutuhan warga masyarakat. Jika negara abai, maka negara sudah dapat dianggap melanggar HAM. Dalam kasus di Batam, Wali Kota dan BP Batam dianggap telah melanggar HAM,” tegasnya.
Dia menambahkan, pada kondisi sebaliknya menyangkut hak-hak Sipol negara justru dilarang untuk terlalu ikut campur agar warga menikmati kebebasannya. “Pelanggaran HAM terjadi manakala negara banyak ikut cawe-cawe dalam hak-hak warga yang dikategorikan dalam Rumpun Hak Sipol ini. Misalnya, hak untuk bebas berpendapat, hak untuk memilih agama dan beribadah, dan lainnya,” tukas Hendardi.
Kembali ke persoalan kebutuhan air di Kota Batam, kata Hendardi, warga bisa melaporkan pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh BP Batam ke kepolisian, kalau perlu terus diekspos di media-media. “Secara politis, karena ini menyangkut hak bisa mendatangi Komnas HAM dan lembaga konsumen setempat,” pungkasnya. (RN/D)