BatamNow.com – Sudah 53 tahun keberadaan BP Batam sejak Otorita Batam (OB).
Kewenangan menguasai tanah (lahan) seluas 715 kilometer persegi (Km²) atau sekitar 71.500 hektare (Ha) di Pulau Batam, Rempang, Galang dan sekitarnya, bak tiada tara.
Jika dilihat secara kasat mata pengalokasian lahan di BP Batam berjalan jor-joran.
Tak hanya untuk kepentingan investor Tiongkok di balutan Rempang Eco-City yang di-back up Proyek Strategis Nasional (PSN) itu.
Alokasi lahan di bawah kabel listrik Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) pun digaspol yang mungkin demi meraup uang wajib tahunan (UWT), pun dugaaan “fee lahan” oleh para oknum yang sudah menjadi rahasia umum.
Hal yang paling parah hutan lindung dan suaka alam pun dialokasikan BP Batam di 715 titik di Pulau Batam.
Dari temuan TA 2020 dan 2021, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) “memerintahkan” BP Batam untuk menghentikan pengalokasian lahan hutan lindung di Batam.
BPK juga meminta BP Batam segera menuntaskan status hutan lindung yang sudah bermetamorfosa menjadi ‘hutan kota’ dengan berbagai bangunan modern di atasnya.
Namun sampai mendekati Hari Baktinya ke-53 yang jatuh pada 26 Oktober 2024, “perintah” BPK itu seakan tak dipedulikan BP Batam.
Sebab sampai LHP tahun 2023 yang dirilis 2024, sengkarut alokasi hutan lindung itu masih tetap menjadi temuan BPK.
BPK menyebut kebijakan pengalokasian lahan hutan lindung dan suaka alam oleh BP Batam, tumpang tindih dengan ketentuan perundang-undangan Kawasan Hutan Kementerian LHK.
Itu imbas dari ketentuan Kementerian LHK menetapkan kawasan hutan lindung dan suaka alam melalui Keputusan Menteri LHK Nomor SK.272/MENLHK/SETJEN/PLA.0/6/2018.
Alasan BP Batam mengalokasikan lahan itu karena pemberian PL oleh BP Batam telah dilakukan sejak tahun 1990 hingga 2017, sebelum terbitnya penetapan status hutan lindung dan suaka alam oleh Kementerian LHK pada tahun 2018.
Dalam rangka menjalankan “perintah” BPK, BP Batam menindaklanjutinya dengan mengirimkan surat ke KLHK pada tahun 2022.
Surat yang dikirimkan itu Nomor B-275/KA/PT.00.00/9/2022 tanggal 30 September 2022 tentang Usulan Penyelesaian Usaha Terbangun dalam Kawasan Hutan di KPBPB Batam.
Lalu apa balasan Kemeterian LHK?
“Belum ada jawaban dari KLHK, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi 715 pemilik PL [Penetapan Lokasi] untuk memanfaatkan lahan tersebut,” begitu catatan di dokumen LHP itu
Alasan Kementerian LHK tak kunjung menjawab surat BP Batam belum terkonfirmasi.
Plt Kepala BP Batam, Purwiyanto maupun Kabiro Humas BP Batam tak berhasil dikonfirmasi wartawan media ini.
“Mungkin lagi sibuk mempersiapkan kue ultah pada 26 Oktober ini,” kata Ketua DPP Kepri LI-Tipikor dan Hukum Kinrja Aparatur Negara, Panahatan SH, seperti menyindir.
Ia pun mengkritisi dan meyakini sejak awal temuan BPK itu, pun BP Batam tak serius untuk menyelesaikannya.
“Kalau hanya dengan surat saja untuk menyelesaikan masalah sebesar itu ya tunggu dulu, apalagi dalam setiap pengalokasikan lahan untuk komersil sejengkal pun di Batam diduga harus dengan ‘uang fee’, yang jauh melabihi tarif negara,” kata advokat muda anggota Peradi ini.
Satu hal yang dipertanyakan Panahatan, kondisi ‘rapuh’ -nya komitmen Direktorat BP Batam yang tak serius sejak awal untuk menyelesaikan masalah ini.
Panahatan mempertanyakann, antara lain:
1. Mengapa setelah temuan BPK, baru BP Batam bersurat ke Kementerian LHK?
2. Bukankah penetapan hutan lindung itu oleh KLHK sejak tahun 2018, tak dilakukan koordinasi?
Membuka catatan usang sejarah sejak Pulau Batam dikembangkan Ketua Ororita Batam BJ Habibie pada eranya, jauh hari ia sudah menetapkan lahan di Pulau Batam seluas 415 Km² hanya dapat digarap 40 persen. Selebihnya untuk kelestarian lingkungan, catchment area dan lainya.
Namun kini lihat sajalah kondisi alam Batam sudah terlihat dari udara seperti kerontang dengan warna tanah bauksit menguning.
Teranyar, salah satu Ikon “Welcome to Batam” yang sudah kesohor itu, dikhwatirkan akan lesap dari pandangan mata, imbas alokasi lahan yang jor-joran itu.
Selamat Hari Bakti BP Batam ke-53. (red)