BatamNow.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) inskonstitusional bersyarat, memantik kontroversi.
Tak pelak para pakar hukum tata negara di negeri ini pun buka suara atas putusan MK yang dituding ambigu itu.
Yusril Ihza Mahendra, misalnya, mengatakan “atas putusan MK tanpa perbaikan segera, kebijakan-kebijaan baru yang diambil presiden otomatis berpotensi melumpuhkan pemerintah”.
Demikian juga Refly Harun: “pembelajaran bagi pemerintah yang ugal-ugalan”.
Lain lagi Advokat Denny Indrayana yang menyebut “5 ambiguitas putusan MK soal uji materi UU Cipta Kerja”
Dari Batam pun tak kalah kritisnya. Dr Emy Hajar Abra SH MH secara pribadi mengakui putusan MK itu sebenarnya bagus, karena hakim MK akhirnya berani mengatakan bahwa UU tersebut secara formil bertentangan dengan konstitusi.
Tetapi sekalipun langkah itu dinilai bagus, ujar pakar hukum tata negara itu, keberanian MK yang sesungguhnya tidak ada.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Kepulauan Riau (Unrika) itu, mengatakan selain keputusan MK ini tidak jelas kepastian hukumnya, juga probelematik dan debatable di kalangan pakar hukum tata negara.
Ia katakan putusan MK menyebut bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945, tapi memberi ruang dua tahun kepada pemerintah untuk memperbaiki.
Nah kalau demikian, ucapnya, pertanyaannya begini: dalam hukum tata negara, kalau secara formilnya dinyatakan bertentangan lalu bagaimana nilai substansinya dalam UU Ciptaker itu.
Menurut Emy, hal itu sangat amat problematik karena MK mengatakan membatalkan Undang-undang, tetapi secara substansi tetap diperbolehkan berjalan.
Hal yang kedua menurutnya, kalimat MK mengatakan “selama tidak terkait dengan hal-hal yang strategis, itu tidak boleh”.
Nah, tanya Emy, kalau berbicara hukum tata negara siapa yang menilai yang berdampak strategis itu? Apakah ada di dalam UU Ciptaker itu yang tidak berdampak strategis?
Emy katakan, dilematik sekali. “Sekali lagi, putusan MK dinilai bagus di satu pihak, tapi di pihak lain saya lebih menyayangkan tidak ada keberanian,” ujarnya.
Mengapa tidak sekaligus saja MK mengatakan UU tersebut batal lalu diberi kewenangan kepada legislatif selama 2 tahun untuk memperbaiki.
Itu jauh lebih sempurna, jauh lebih tegas, jauh lebih ada kepastian hukum. Kepastian hukum kepada pengusaha, investor dan lain lain.
Selain itu Emy juga meyinggung statetmen Presiden Jokowi pasca putusan MK itu yang menyebut tidak ada masalah. Jokowi justru mengatakan, “Silakan berinvestasi karena UU tersebut bisa dijalankan selama dua tahun”.
“Ini kan menunjukkan keinginan antara pemerintah dengan putusan MK sangat dilematik, sangat debatable itu point pertama,” tandas Emy.
Poin yang kedua, ujar Emy, ada beberapa pengujian tentang UU Ciptaker. Nah UU ini dikatakan batal dan bertentangan dengan UUD. Kemudian UU yang lainnya tidak diterima dengan alasan kehilangan objek.
Kata-kata kehilangan objek bermakna bahwa UU itu sudah bertentangan dengan UUD 1945.
Emy menerangkan, UU Ciptaker ini diuji banyak di MK. Dari 12 putusan yang dibacakan, MK mengatakan 10 itu kehilangan objek.
Pertanyaannya lagi, kalau sudah kehilangan objek, kenapa MK mengatakan UU itu masih berlaku selama 2 tahun dan diberi waktu perbaikan?
Menurutnya hal itu aneh. Kalau sudah kehilangan objek berarti sesuatu itu sudah bertentangan dengan UUD. “Seharusnya sudah dibatalkan,” ucap Emy.
Dia tekankan lagi, dari 12 putusan 10 diantaranyaa dinyatakan kehilangan objek yang berarti UU itu sudah salah, sudah mati dan harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD. Putusan MK pun sangat multitafsir.
Untuk itu pendapat Emy, lebih baik sebelumnya MK membatalkan saja UU tersebut kemudian memberi kewenangan kepada DPR memperbaiki UU Ciptaker selama 2 tahun.
Dengan begitu jauh lebih mendidik, lebih memberi keadilan serta memberi kepastian hukum. (A/H)