Oleh: Tim Redaksi BatamNow.com
BatamNow.com – Pemerintah Kota (Pemko) Batam mengklaim meraup pendapatan pajak daerah Rp 5,2 miliar sepanjang 2024 dari 42 arena “permainan ketangkasan”.
Namun, di balik angka itu, kebijakan pengenaan pajak hiburan 25 persen menuai kritik dari berbagai pihak akibat “kerancuan” klasifikasi dan tumpang tindih regulasi.
Arena seperti permainan mesin “jackpot”, “tebak nomor bola pingpong”, hingga “tembak ikan” dan jenis permainan keberuntungan lainnya, yang di daerah lain dikenakan pajak 40-50 persen —di Batam hanya dikategorikan sebagai “hiburan ketangkasan” dengan tarif lebih rendah.
Padahal, sejumlah pihak menduga permainan ketangkasan di sejumlah arena menjadi sarana “judi” terselubung, paling tidak fakta di arena jauh beda dengan yang dimaksud dalam nomenklatur di Perda Kota Batam No 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Kontroversi klaim “Permainan Ketangkasan” dengan mengoperasikan mesin jackpot, tembak ikan dan sejenisnya di Batam tidak memberikan pembayaran tunai langsung, menjadi alasan permainan di arena bukan judi.
Namun, klaim bahwa kemenangan pemain bisa ditukar dengan voucher atau hadiah — mekanisme yang dianggap “abu-abu”.

Bahkan hasil investigasi media ini, kemenangan ada yang ditransfer langsung ke rekening pemain “eksekutif” dengan kemenangan jutaan sampai puluhan juta rupiah.
“Ini modus klasik. Hadiah voucher bisa dijual kembali ke pengelola lewat jaringannya atau pihak ketiga, jadi sebenarnya tetap dengan pembayaran uang dan tak sedikit yang ditransfer langsung ke rekening pemain,” ujar seorang pengamat perpajakan yang enggan disebutkan namanya.
Ironisnya, Perda Kota Batam 1/2024 menggabungkan tarif pajak untuk permainan rekreasi keluarga (bowling, arcade) dan sejenisnya dengan permainan berisiko tinggi. Padahal, UU HKPD Nomor 1/2022 membatasi tarif hiburan keluarga maksimal 10 persen. Sementara di luar Batam, permainan seperti jackpot, tembak ikan dan lainnya justru dikenakan pajak hingga 50 persen.
Bukan itu saja kontroversi permainan melenceng yang memboncengi permainan ketangkasan ini, tapi terjadi pelanggaran zonasi dan ambiguitas Peraturan Wali Kota (Perwako) Batam.
Operasional arena ini juga berpotensi melanggar Perda 3/2003 tentang Kepariwisataan yang membatasi permainan mekanik/elektronik hanya di kawasan wisata eksklusif. Faktanya, arena gelper dan jackpot justru marak di mal, apartemen, dan kawasan permukiman.
“Para pelaku usaha hiburan ini beroperasi di zona terlarang, tapi Pemko tidak punya aturan pelaksana untuk menertibkan. Hingga Maret 2025, belum ada kejelasan,” ungkap sumber di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Batam.
Peraturan Wali Kota Batam No 11 Tahun 2023 yang menetapkan arena permainan ketangkasan manual/ mekanik/ elektronik sebagai sarana rekreasi keluarga (permainan anak-anak) semakin memicu kontroversi.
Pertanyaan kritis: Mana yang termasuk permainan anak-anak (game zone) dan mana yang berpotensi judi?

Keraguan metode penghitungan pajak Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Batam dinilai belum transparan dalam menghitung objek pajak.
Tiga pertanyaan mengemuka: Pertama, apakah penghitungan pajak dilakukan per mesin, kolektif , dengan self-assessment per arena?
Kedua, berapa ribu unit mesin yang sebenarnya diverifikasi Bapenda Kota Batam yang menjadi objek pajak?
Dan ketiga, mengapa tarif pajak untuk permainan berisiko di Batam lebih rendah daripada daerah lain?
“Jika mesin jackpot, tembak ikan, dihitung sebagai ‘hiburan ketangkasan’, potensi pajak yang hilang bisa mencapai puluhan miliaran per tahun,” kata pengamat lainnya.
Permainan Anak vs Judi Terselubung?
Ambiguitas juga terjadi dalam perizinan. Syarat perizinan di Sistem OSS (Online Single Submission) mengacu dan berbasis pada permainan anak-anak, tetapi mesin yang digunakan di lapangan adalah jackpot dan tembak ikan, tebak nomor bola pingpong, atau jenis alat permainan yang mirip mesin kasino yang tidak jelas mekanisme aturan operasionalnya lewat Perda atau Perwako Batam.
“Ini seperti mengajukan izin warung kopi, tapi praktiknya jadi kasino mini. Regulasinya tidak nyambung!” protes warga di sekitar arena gelper di Nagoya.

Bercermin dari kontroversi di atas, muncul desakan agar Perda Kota Batam diaudit dan direvisi terkait permainan ketangkasan ini.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kejaksaan Negeri Batam didesak mengaudit penerimaan pajak sektor hiburan Batam. Rekomendasi mendesak meliputi pemisahan tarif pajak: 10 persen untuk rekreasi keluarga, 40–50 persen untuk permainan berisiko.
Demikian juga terkait desakan audit lokasi. Pemko Batam diminta agar menutup arena di zona terlarang (apartemen, permukiman).
Dan Pemko Batam juga diminta merevisi Perda dan Perwako yang dinilai saling bertentangan.
Ketua LSM Anti-Judi Batam, Ahmad Basorah, menegaskan, “Ini bukan sekadar soal pajak, tapi juga perlindungan masyarakat dari judi yang dipoles legal lewat praktik penerimaan pajak daerah”.
Sebab kontroversi gelper atau permainan di arena menguak dua masalah krusial: lemahnya kepastian hukum dan potensi kerugian fiskal daerah. Tanpa regulasi jelas, Rp 5,2 miliar pendapatan itu bisa jadi angka semu yang membuka pintu eksploitasi lebih besar. (*)