BatamNow.com – Salah satu permasalahan di pusaran sengkarut pelayanan dan pemungutan retribusi parkir tepi jalan umum (TJU) perihal parkir mandiri.
Jenis pelayanan parkir ini diduga bermasalah karena belum ada ketentuan yang mengatur baik nomenklaturnya/ teknis pelaksanaannya maupun aturan tarifnya.
Kejanggalan ini pun mendapat sorotan dari pemerhati kebijakan publik Kota Batam, sekaligus Direktur Eksekutif Batam Labour and Public Policies, Rikson Tampubolon. yang juga alumnus program magister perencanaan pembangunan Universitas Sumatera Utara.
“Saya melihat beberapa isu mendasar yang perlu dicermati terkait sengkarut pelaksanaan parkir mandiri di Batam. Persoalan yang berlarut-larut ini harusnya dievaluasi dalam konteks kepemimpinan di dinas terkait dan di Pemerintah Kota Batam ini,” kata Rikson kepada BatamNow.com, Kamis (24/10/2024).
Beberapa problem parkir mandiri yang terjadi di lapangan:
Pertama, kurangnya dasar hukum terhadap parkir mandiri di Batam jelas bermasalah dari sisi regulasi.
Temuan BPK menunjukkan bahwa penerapan parkir mandiri belum memiliki dasar hukum yang jelas, baik dalam Perwako maupun Perda.
“Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan rawan penyalahgunaan. Tanpa regulasi yang tegas, kebijakan ini cenderung berjalan tanpa arah yang jelas, menciptakan potensi konflik antara pengguna layanan masyarakat, juru parkir (jukir), dan pemerintah daerah,” jelas Rikson.
Kedua, transparansi dan akuntabilitas yang lemah. Ketidakjelasan dalam pengelolaan dan pelaksanaan parkir mandiri, baik dari segi tarif, titik parkir, maupun mekanisme pungutan, menunjukkan minimnya transparansi dan akuntabilitas.
Ketidakjelasan pendapatan sebesar Rp 3,3 miliar lebih dari parkir mandiri pada tahun 2023, meskipun tercatat, tidak disertai dengan penjelasan yang memadai tentang cara pengelolaan dan penggunaannya.
“Hal ini membuka ruang bagi potensi penyalahgunaan atau pungli, yang menjadi perhatian serius bagi masyarakat,” ujar Rikson.
Ketiga, tidak konsistennya implementasi pengguna layanan dan jukir mengalami kebingungan terkait ketentuan tarif, zona parkir gratis, dan ruang parkir yang dibebankan.
Hal ini menunjukkan ketidakjelasan dalam sosialisasi kebijakan. Ketidakkonsistenan ini mengakibatkan ketegangan di lapangan dan merusak kepercayaan publik terhadap kebijakan parkir mandiri.
Selain itu menurut Rikson, minimnya edukasi terhadap jukir dan masyarakat memperparah masalah ini. Sudah pasti ini juga merusak citra Batam yang katanya bermimpi menjadi Bandar Dunia Madani.
Terakhir, tantangan dalam pengelolaan parkir di Batam, baik parkir mandiri maupun parkir tepi jalan umum (TJU), membutuhkan reformasi menyeluruh.
“Salah satu langkah penting adalah menyiapkan regulasi yang jelas dan tegas. Data dari BPK juga menunjukkan perbedaan antara hasil survei konsultan dengan realisasi pendapatan dari retribusi parkir,” jelas Rikson.
Hal ini menunjukkan adanya masalah dalam perencanaan dan pengelolaan target pendapatan. Selain itu, tingginya biaya operasional sebesar Rp 23,9 miliar dibandingkan dengan pendapatan sebesar Rp 4,9 miliar lebih menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas dan efisiensi manajemen parkir oleh Dishub Batam.
“Secara keseluruhan, kebijakan parkir mandiri di Batam tampaknya dikelola secara buruk dan tidak transparan, menciptakan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat,” ujar Rikson.
Pemerintah Kota Batam, melalui Dishub, diminta segera memperbaiki kelemahan ini dengan menyiapkan regulasi yang jelas, meningkatkan transparansi, dan memberikan sosialisasi yang tepat kepada masyarakat serta jukir.
“Reformasi ini juga harus melibatkan DPRD Batam sebagai lembaga pengawasan agar kebijakan parkir yang diterapkan benar-benar adil dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Sampai kapan kita permasalahan perparkiran ini bisa teratasi?” tanya Rikson. (Aman)