BatamNow.com – Usai mengadu langsung ke Komnas HAM, DPR, DPD, hingga kementerian di Jakarta, kini perwakilan warga melapor ke Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sebagai antisipasi potensi maladministrasi pengelolaan Pulau Rempang-Galang dan sekitarnya.
Menempuh perjalanan sekitar 45 km dari Pulau Rempang, perwakilan warga mendatangi kantor Ombudsman Kepri di Gedung Graha Pena, Batam Center, Pulau Batam, hari ini, Senin (24/07/2023).
Perwakilan warga Rempang yang diutus adalah Ketua Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Gerisman Achmad, Kasmirin dan didampingi akademisi Assoc Prof Dr M Syuzairi MSi.
“Hari ini kita melapor ke Ombudsman Kepri di Graha Pena,” kata Gerisman kepada BatamNow.com, Senin (24/07) sore.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kepri Lagat Siadari membenarkan dan mengatakan masih mempelajari aduan dari warga Rempang. “Masih dipelajari,” ujarnya kepada BatamNow.com.
Ikut mendampingi warga, Syuzairi mengatakan bahwa laporan itu sebagai antisipasi maladministrasi dalam pengembangan Kawasan Rempang Eco-City yang direncanakan dibangun di atas Pulau Rempang dan Galang.
“Warga melaporkan secara resmi ke Ombudsman untuk mengantisipasi khawatir ke depannya akan ada maladministrasi dalam pengelolaan Rempang-Galang,” jelas Syuzairi yang juga dosen aktif Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang ini.
Dijelaskannya, warga berpendapat bahwa secara hukum, PT Makmur Elok Graha (MEG) belum boleh melaksanakan kegiatan di Rempang-Galang. Musababnya, ada tiga hal yang perlu di-clear-kan terlebih dahulu.
Pertama, warga meminta dilakukan evaluasi ulang terhadap nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Kota Batam, Otorita Batam (sekarang BP Batam) dan PT MEG pada tahun 2004.
“Kalau dulu tahun 2004, mungkin masyarakatnya tidak terlalu ramai bermukim di sana kemudian tidak ada kegiatan-kegiatan seperti adanya pembukaan lahan perkebunan dan sebagainya. Itu juga menjadi fokus gerakan masyarakat yang di Rempang-Galang,” terangnya.
“Karena berdasarkan ketentuan, dalam konteks HPL, kan mereka harus mendapatkan sertifikat Hak Guna Bangunan baru bisa jalan. Sejauh itu belum dilakukan clean & clear, proses ganti rugi ke masyarakat, itu tidak bisa dilaksanakan pembangunan,” lanjut Syuzairi.
Kedua, masyarakat Rempang-Galang masih melakukan upaya hukum yakni dengan melapor ke Komnas HAM, DPR dan DPD RI, kementerian, termasuk surat ditujukan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Jadi prosesnya itu harus ditunggu apa jawabannya,” tukasnya.
Ketiga, masyarakat tetap berharap negara maupun pemerintah pusat mau hadir di tengah polemik antara investor dengan warga lokal.
“Dalam konteks, tetap melestarikan kampung-kampung tua atau kampung lama yang ada di Rempang-Galang, termasuk mungkin meminta evaluasi tidak harus satu pulau itu dikuasai MEG,” katanya.
Dari Konsep KWTE, Kini Kawasan Industri Hingga Perumahan Mewah
Syuzairi yang pernah menjabat Asisten I Pemko Batam ini juga menyorot perjanjian pada 2004 yang disebutkan bahwa konsesi dengan PT MEG adalah pengembangan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE).
“Mestinya kepada MEG itu diberikan konsesi KWTE tetapi tidak dalam konteks satu pulau, atau berapa kebutuhannya untuk pengembangan KWTE. Jadi jangan masyarakat dibodohi,” tegasnya.
Sementara dalam sosialisasi di Kelurahan Sembulang di Pulau Rempang, pengembangan Rempang-Galang yang disebut kawasan Rempang Eco-City terdiri dari 7 zona. Mulai dari kawasan industri, kawasan agrowisata, kawasan komersil & perumahan, kawasan pariwisata, kawasan hutan & PLTS, kawasan konservasi, serta kawasan cagar budaya.
“Dulu kan kalau memang dasarnya perjanjian dengan MEG kan KWTE (Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif). Nah kenapa sekarang ini justru mengarah kepada perumahan mewah, industri dan sebagainya? Mestinya itu fokus ke KWTE. Masyarakat ingin melihat dulu seberapa jauh sebenarnya kesungguhan MEG dalam mengelola KWTE,” ucap Syuzairi.
Untuk itu, warga meminta harus ada dulu kejelasan proses hukum maupun kedudukan PT MEG dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, sebelum melakukan investasi di kawasan Rempang-Galang.
Sehingga, katanya, tidak timbul konflik dengan masyarakat lokal di kemudian hari semisal langkah hukum ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).
“Siapa pun kan boleh melakukan upaya-upaya hukum demi kepentingan bersama, terutama konteksnya Reforma Agraria, khususnya di bidang pertanahan. Komitmen Pemerintah dalam konteks Reforma Agraria kan lebih memihak kepada masyarakat bukan pihak pengusaha. Minimal ada win-win solution, saling menguntungkan antara investasi dengan pemberdayaan masyarakat tempatan khususnya,” jelasnya.
Menanggapi sosialisasi digelar BP Batam pada Jumat lalu, menurutnya sudah cukup menampung hal yang diinginkan oleh warga Rempang-Galang terkait rencana pengembangan kawasan eco-city di sana.
“Saran saya seharusnya tidak perlu ada lagi sosialisasi, cukup yang kemarin. Tinggal bagaimana Pemerintah mengevaluasi saran/masukan hasil sosialisasi kemarin,” ujar Syuzairi.
Ia menegaskan kembali, bahwa masyarakat Rempang-Galang kukuh tidak ingin direlokasi dari kampung mereka yang telah ditempati turun temurun dan punya sejarah panjang.
“Kampung-kampung itu mestinya tidak digusur tapi bisa dijadikan sebagai kampung wisata. Kalau MEG dan Pemerintah serius, jadikan kampung itu kampung wisata, dan investor menjadi bapak angkat bagi kampung-kampung itu. Bukan dengan cara relokasi,” tandasnya.
Terkait PT MEG yang menguasai lahan utuh satu Pulau Rempang ditambah pulau lainnya, kata Syuzairi, seharusnya dialokasikan secara bertahap untuk melihat keseriusan pihak investor mengembangkannya.
“Dari awal saya bilang, perlu ada kajian MEG itu kebutuhannya berapa hektare, jadi secara bertahap dalam bentuk pilot project. Kalau sudah berhasil ya silakan mengembangkan,” katanya.
“Beriktunya harapan masyarakat, jangan sampai merembes ke pulau-pulau kecil. Jangan terkesan tamak sekali,” tambahnya.
Kemudian terkait lahan, tanaman, bangunan warga yang berada di luar kampung, seharusnya dengan konsep ganti untung bukan ganti rugi. Syuzairi mencontohkan, proyek jalan tol di Pulau Jawa menerapkan ganti untung
“Kalau di Jawa sana mereka mendapat ganti untung, ya masyarakat di Rempang-Galang juga menginginkan sama mendapat ganti untung sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apa bedanya masyarakat Batam dengan masyarakat yang ada di Pulau Jawa?” pungkasnya. (D)