BatamNow.com – Masalah uang wajib tahunan (UWT) tanah BP Batam nyaris tak pernah sepi dari sorotan.
Ada UWT resmi sebagai pendapatan negara yang hanya ‘seupil’ jika dibandingkan dengan “UWT” lahan alias dugaan fee mafia lahan yang besarannya berlipat-lipat dari tarif resmi negara.
Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pun direpotkan juga soal UWT uang muka yang kebijakannya telah ditelan masa ini.
Uang hasil ‘jual’ tanah adalah satu pendapatan utama BP Batam dan sekaligus menghidupi perjalanan BP Batam selama 53 tahun dengan 2.500-an pegawai.
Itulah ihwal mengapa BP Batam sejak dari Otorita Batam sampai dijuluki sebagai “tuan takur” .
Semua tunduk pada keputusan dan kekuasaannya atas penggunaan tanah di Batam sampai ke Pulau Rempang kampung sejarah Melayu yang akan digusur.
Salah satu masalah yang mencuat di temuan BPK adalah soal puluhan miliar uang muka tanah 10 persen dari pemohon alokasi. Temuan BPK atau auditor negara itu tercantum dalam LHP tahun 2023 yang di-publish tahun 2024.
Begini kronologi uang muka puluhan miliar yang tercatat dalam laporan keuangan BP Batam.
Dari uji asersi atas penyajian saldo titipan uang muka UWT per 31 Desember 2023 menunjukkan saldo pada laporan keuangan pada data Direktorat Pengelolaan Pertanahan (DPP) BP Batam sebesar Rp 18,7 miliar lebih, terdiri dari titipan uang muka UWT tahun 2015 sebesar Rp 10,1 miliar lebih yang berasal dari 233 penerima alokasi dan tahun 2016 sebesar Rp 8,6 miliar lebih yang berasal dari 188 penerima alokasi.
Dalam temuan BPK, masalah uang muka itu pun terjadi bukan hanya antara BP Batam dengan pemohon alokasi lahan. Tapi sesama bidang di BP Batam pun bermasalah pula.
Lihatlah soal pencatatan data lahan dan uang muka antara data Biro Keuangan dengan data Ditektorat Pengelalaan Pertanahan (DPP) yang bermasalah.
Padahal BP Batam menggunakan sistem pencatatan uang muka tanah yang keren nan modern, yakni Finance and Billing Management System (FBMS). Tapi salah juga.
Di DPP mencatat uang muka UWT sebesar Rp 17 miliar berasal dari 468 penerima alokasi.
Sementara Biro Keuangan mencatat hanya sebanyak 139 faktur dengan nilai uang muka UWT Rp 6,66 miliar terdiri dari 81 faktur pemohon perorangan sebesar Rp 52 juta dan 58 faktur pemohon badan usaha sebesar Rp 6,6 miliar sehingga masih terdapat data uang muka UWT pada LK sebesar Rp 12,08 miliar yang tidak sinkron dengan data pada DPP.
Ada lagi uang muka 10% yang belum dikembalikan ke pemohon lahan sebesar Rp 10,69 miliar.
Sejak tahun 2007, perolehan alokasi tanah masih bisa dengan mekanisme pembayaran cicilan 10 % dari nilai total UWT.
Namun sejak tahun 2021, BP Batam menghapus kebijakan tersebut dan pemohon harus langsung melunasi faktur UWT yang diterbitkan pada saat pengajuan PL.
Kepada BPK disampaikan BP Batam, meski para pemohon alokasi telah membayar uang muka 10%, namun jika pemohon tidak layak secara yuridis dan teknis, permohonan pemohon dilakukan pembatalan disertai pengembalian uang muka 10%.
Anehnya, mengapa setelah belasan tahun uang muka mengendap di saku BP Batam, baru ada penilaian dan dilakukan pembatalan?
Direktorat Pengelolaan Pertanahan pun, menurut BPK, telah melakukan inventarisasi uang muka 10% dari pemohon perorangan maupun badan usaha.
Disebutkan, sebanyak 167 pemohon dengan luas tanah yang dimohon 6.665,774 meter persegi (m2) diidentifikasi tidak memenuhi aspek teknis dan yuridis, sehingga harus dilakukan proses pembatalan yang disertai dengan pengembalian uang muka 10% kepada pemohon alokasi.
Namun demikian, sejak tahun 2007 hingga 31 Desember 2023, BP Batam masih sebatas ‘omon-omon’ karena tak kunjung melakukan proses pembatalan alokasi dan pengembalian uang muka 10% sebesar Rp 10,69 miliar kepada pemohon alokasi.

Kepala Subdirektorat Pengadaan dan Pengalokasian mengaku telah menyampaikan surat kepada pemohon alokasi secara bertahap namun belum memperoleh jawaban balik dari pemohon alokasi.
Demikian juga dengan nomor rekening bank tak kunjung dikirim pemohon, sehingga transfer pengembalian uang muka, belum dapat dilaksanakan.
BPK sendiri merekomendasikan agar Kepala BP Batam menginstruksikan jajaran terkait untuk memproses pembatalan alokasi dan pengembalian uang muka 10% atas alokasi lahan yang tidak sesuai aspek teknis dan yuridis.
Apa benar pihak DPP telah menyurati atau memberitahu para pemohon lahan yang tak memenuhi syarat itu, untuk mengirim rekening banknya?
“Bohong itu, uang muka permohonan lahan saya sudah beberapa tahun, justru surat kami tak pernah dijawab BP Batam, ditemui di kantornya pejabat selalu tak ada,” kata sumber media ini, seorang “korban” uang muka 10%.
Siapa saja pemilik uang muka pemohon lahan yang tak memenuhi syarat teknis dan yuridis itu, sehingga tanah yang dimohon ‘zonk’?
“Ayo buruan ambil kembali uang maka anda serta kirimkan nomor rekening ke BP Batam daripada uang anda habis dimakan ‘rayap’,” kata Fernandes, pemerhati sosial kemasyarakatan ini. (red)