Catatan Redaksi BatamNow.com
Semakin teryakini dugaan selama ini: mencuatnya kasus-kasus tanah (lahan) dipicu manajemen pengelolaan lahan yang kurang baik dan profesional oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Masalah Apartemen Indah Puri yang sempat menghebohkan itu, kini masih dalam suasana pergunjingan publik.
Eks penghuni atau pemilik unit apartemen akhirnya memperkarakan pemilik alokasi lahan apartemen ke pengadilan.
Sebelumnya kericuhan dan kegaduhan terjadi di kawasan Sekupang, Batam itu. Para penghuni diusir paksa karena disebut batas kepemilikan unit apartemen sudah berakhir. Aparat sempat beberapa kali turun tangan di sana. Ramai dengan personel.
Sulit memungkiri, gaduh di Indah Puri sampai mengusik ketenangan dan kenyamanan ekspatriat (WNA) di Batam.
Bagaimanapun ihwal Indah Puri menimbulkan imej buruk bagi Batam. Performa BP Batam di mata mereka, jeblok.
Kepercayaan orang asing, paling tidak bagi eks pemilik unit apartemen, terhadap penguasa Batam, buyar.
Kabar konflik di seputar apartemen ini sampai disiarkan dan disorot media asing. Dan mungkin menjadi promosi jelek atas eksistensi Batam di mata para calon investor.
Di balik kasus Apertemen Indah Puri, juga tak lekang dari soal “hak” alokasi lahan.
Kasus lahan di Sei Nayon, Bengkong, kini masih hangat diperbincangkan. Perkaranya merangsek juga ke Pengadilan Negeri Batam.
Sempat terjadi gaduh di sana. Itu saat sejumlah aparat pengamanan dari berbagai unsur dan mungkin ada yang tak berunsur tumpah ke lokasi mengawal pembongkaran paksa bangunan permanen milik warga di lahan tersebut.
Akhirnya lahan di areal sana jatuh ke tangan yang lebih “kuat”, tapi bukan “Kuat Maruf” itu.
Sejumlah warga pemilik bangunan permanen itu hanya dapat menangis, merintih menatap bangunan yang permanen dan bertingkat diruntuhkan. Bangunan tempat tinggal dan berusaha yang dibangun dari keringatnya selama bertahun-tahun, dirobohkan dan dihancurkan petugas rata dengan tanah hanya hitungan menit
Dan lagi-lagi pemantiknya adalah manajemen pengalokasian lahan yang dinilai banyak pihak bermasalah dan tidak konsisten.
Dan masalah lahan lain, kekinian, secara sporadis masih mewarnai relung-relung dinamika kehidupan di setiap sudut Batam, Rempang dan Galang (Barelang).
Dan bila berkilas balik jauh ke belakang, deretan panjang kasus-kasus lahan yang sama masih banyak yang menggelinding dan banyak berpengadilan.
Dan pengadilan “jalanan” pun masih kerap berlaku dalam penguasaan lahan secara sepihak di pulau “BAnyak TAMu (Batam)” ini.
Mengusik Anak Sekolah
Kasus-kasus lahan menggelinding terus bak bola salju.
Terkini merundung lahan SMKN 9 Batam seluas 3.000 meter2 itu.
Di areal lahan di Tanjung Piayu itu nyaris terjadi “gesekan” antara dua pihak.
Sejumlah murid SMKN 9 dikabarkan sempat turun mengadang pihak suruhan PT Cidi Pratama yang memagari areal lahan di sana dengan material pelat seng.
Dapat dibayangkan betapa riskannya dampak sosial yang muncul, akibat buruk dari konflik lahan.
Sejumlah anak didik di bangku sekolah pun sampai terseret di kisruh lahan itu. Mereka turun dan berupaya menghalau tindakan pemagaran itu. Dikabarkan, nyaris juga terjadi benturan fisik di areal lahan di SMKN 9 itu.
Bagaimanapun, suka tidak suka, sulit menafikan bahwa kondisi ini imbas dari kinerja Direktorat Pengelolaan Pertanahan BP Batam yang diduga serampangan sebagaimana dituding banyak pihak, selama ini.
Bahkan lebih dari tudingan kinerja serampangan itu, keberadaan mafia lahan pun diduga terselubung di internal BP Batam. Soal itu sudah menjadi isu klasik.
Terjadi Benturan, BP Batam Seolah Membiarkan
Kondisi seperti dijelaskan di atas sangat disayangkan sekaligus disebut memprihatinkan. Apalagi posisi BP Batam yang seolah membiarkan masalah menjadi gaduh dan berlarut-larut. Kadang kala masalahnya makin membuncah. Termasuk di masalah lahan lainnya.
Pihak direktorat lahan, tampaknya, tidak mau tahu atas masalah di lapangan. Padahal dampak buruknya sangat berpotensi mengusik keamanan dan ketenangan publik. Dan bisa memosisikan imej Batam sebagai kota yang sering gaduh.
Itu terlihat juga pada konflik lahan seperti di SMKN 9 ini. Kabar gaduh sempat menyeruak.
Pihak BP Batam sepertinya membiarkan dua belah pihak “beradu di gelanggang pertarungan”. BP Batam seperti menyediakan gelanggang tinju.
Apalagi masalah itu sampai menyeret sejumlah anak sekolah SMKN 9. Bukankah kondisi ini telah mengganggu kenyamanan para anak sekolah dan sejumlah penghuni sekolah di sana?
Bukankah BP Batam seperti menunjukkan kinerjanya dengan side effect yang kurang mendidik bagi para anak sekolah sebagai generasi penerus bangsa ini?
Bahkan para anak didik SMK yang sempat turun itu tak tertutup kemungkinan, kelak, menjadi generasi penerus di BP Batam.
Gaduh karena masalah lahan di Batam. Tak jarang dalam kasus seperti ini sampai menimbulkan bentrok fisik. Ada bentrok antarkelompok, dan sebagainya.
Bukankah kondisi seperti itu sudah dapat dikata sudah mengganggu kenyamanan lingkungan sekitar?
Padahal, misalnya di kasus lahan SMKN 9, jika benar yang disampaikan oleh Kabiro Humas BP Batam Ariastuty Sirait bahwa legalitas lahan di sana ada pada pihak sekolah. Lalu, mengapa BP Batam tidak bertanggung jawab untuk mengamankan lahan yang dialokasikan jika mendapat gangguan dari pihak lain.
Bukankah ini sangat berisiko karena sejumlah anak sekolah spontan “terseret” turun untuk mengamankannya ?
Bukankah sebenarnya BP Batam memiliki “pasukan” pengamanan dari Direktorat Pengamanan (Ditpam) BP Batam yang bisa bertindak segera ke lapangan?
Mengapa tim dari BP Batam tidak dengan gerak cepat (gercep) turun agar masalah itu tidak sampai menimbulkan kegaduhan?
Turun dengan gercep ke lapangan, salah saru cara tepat dan terukur untuk mejelaskan kepada para pihak secara prosedural: siapa sebenarnya yang berhak secara legal formal atas lahan itu.
Bahkan lebih dari sekadar itu, semestinya, BP Batam berinisiatif untuk bertindak membongkar pagar (pelat seng) yang dipasang pihak dari PT Cidi Pratama.
Atau bila perlu BP Batam melakukan upaya hukum postif. Bukan membiarkan pemilik alokasi lahan yang telah membayar uang sewa lahan berhadapan dengan pihak yang mengklaim.
Bukankah pemagaran itu satu tindakan sepihak, jika benar apa yang disampaikan Ariastuty bahwa pemegang alokasi lahan adalah SMKN 9?
Apalagi masalah lahan sudah mencuat. Menjadi sorotan media mainstream. Bahkan Gubernur Kepri Ansar Ahmad telah memberi atensi.
Seperti diketahui bahwa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat berada pada ruang lingkup pengawasan dan pembinaan di pemerintahan Gubernur Kepri.
Perusahaan Klaim Punya Legal atas Lahan
Kasus lahan SMKN 9, mau tidak mau, suka tak suka menjadi seri dari potret buruk penanganan lahan di Batam.
Dan entah sampai kapan ini terjadi dan akan terjadi lagi. Entah sampai kapan pula gaduh dan kegaduhan timbul dipicu pengalokasian lahan yang diduga tumpang tindih ini.
Mengapa disebut tumpang tindih? Sebab menurut pihak PT Cidi Pratama pemagaran yang mereka lakukan bukan tanpa dasar.
Malah mereka menyatakan secara terbuka tindakan mereka tak bermaksud menyerobot lahan orang.
PT Cidi Pratama mengklaim legal lahan itu di tangan mereka. Surat izin pematangan lahan untuk seluas 1,3 hektare dari BP Batam, dimilikinya. Sejak tahun 2016. Malah ada lagi, katanya, surat perpanjangan izin.
Meski Ariastuty menyatakan ke media bahwa pihaknya telah mengeluarkan surat pembatalan pematangan lahan atas nama PT Cidi Pratama di lokasi yang dimaksud pada 30 Juli 2018.
Jika posisi seperti itu, siapa pejabat di BP Batam yang pernah mengeluarkan surat pematangan lahan itu?
Bagaimana kronologisnya sehingga izin pematangan lahan itu kemudian dicabut. Apakah karena ada “sesuatu” di balik itu sehingga surat izin itu dibatalkan?
Atau mungkinkah kondisi ini ulah dari mafia lahan di tubuh internal sebagaimana disebut di atas tadi, meski hingga kini tudingan itu masih seperti bau kentut?
Kasus-kasus lahan saling klaim di Batam dan saling berperkara di lapangan bahkan hingga ke pengadilan dan PTUN, sangat cukup panjang. Butuh ruang dan waktu untuk membebernya satu per satu dalam tulisan ini.
Sementara pihak BP Batam, agaknya, jarang turun langsung ke lapangan dengan cepat untuk bila terjadi konflik.
Kondisi ini bukan saja menjadi potret buruk bagi penanganan dan pengelolaan lahan di BP Batam. Tapi dalam mendapat alokasi lahan dari BP Batam, lagi-lagi seakan tak ada jaminan keamanannya.
Padahal bagi BP Batam, ini satu mandatory dikaitkan dengan tanggung jawab BP Batam dalam mengamankan lahan milik Negara.
Masalah yang terjadi ini sekaligus menjadi potret buram atas kondisi keamanan di Batam yang dipicu penanganan lahan bermasalah.
Bukankah keamanan hal yang diperlukan untuk menjaga kepercayaan para investor untuk berinvestasi di Batam?
Banyak Laporan Konflik Lahan Masuk ke Polda Kepri
“Banyak laporan kasus atau konflik lahan yang masuk ke Polda Kepri dan trendnya naik, kini menjadi prioritas penanganan kami,” kata Dirreskrimun Polda Kepri Kombes Jefri R P Siagian dalam satu momen baru-baru ini.
Kondisi yang sungguh mengherankan, mengapa semua ini terjadi. Padahal pengalokasian lahan di Batam dimonopoli BP Batam sendiri yang kerap dijuluki “tuan takur”.
Mereka (BP Batam) punya pilihan mau dialokasikan untuk siapa lahan-lahan di Batam.
Bahkan sampai muncul tudingan “ada fee ada lahan”. Soal ini sudah menjadi anekdot sehari-hari bagi yang terlibat dalam urusan perlahanan BP Batam ini.
“Ada harga ada barang”, itu sudah menjadi pameo di tengah publik yang tanpa disadari dapat merongrong marwah dan eksistensi BP Batam itu sendiri.
Penguasaan lahan secara absolut berada pada “tuan takur” setelah mendapat Hak Pengelolaan Lahan dari Kementerian ATR/BPN.
Namun sangat tak masuk akal bila ada pihak-pihak yang sekonyong-konyong berani mengklaim atas satu alokasi lahan.
Sulit meyakini itu jika para pihak yang mengklaim tanpa tertaut atau tanpa benang merah dengan pengambil kebijakan atau diskresi oleh oknum pejabat tertentu di BP Batam.
Manajemen penanganan lahan sudah lama disoroti publik. Karena bejibun masalah. Dan diyakini, masalahnya bukan saja di pusaran pengalokasian banyak lahan.
Tapi juga penanganan proses pengadministrasian pengalokasian dan yang terkait dengan kelengkapan legal administrasi pada lahan.
Soal ini semua masih sangat ramai dikeluhkan.
Padahal lagi, BP Batam sendirilah yang “mencicipi” uang wajib tahunan (UWT) dari lahan yang dialokasikan. Tapi kinerjanya dituding banyak pihak: amburadul.
Banyak yang sudah memahami bahwa posisi BP Batam sebagai Badan Layanan Umum (BLU) diberi keleluasaan oleh pemerintah untuk mengelola Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang salah satu sumbernya adalah pendapatan UWT.
Dari uang sewa lahan negara itulah yang mendominasi pundi-pundi BP Batam. Dari uang sewa lahan itu pulalah sumber pembayaran biaya gaji dan kesejahteraan para penghuni gedung BP Batam berlogo Elang Emas yang ditaksir berjumlah 3.000-an itu.
Namun yang sungguh sangat disayangkan, mengapa urusan penanganan manajemen pengelolaan dan pengalokasian lahan masih bermasalah di Batam?
Ini bisa menjadi pukulan berat bagi imej Kepala BP Batam Muhammad Rudi karena manajemen pengelolaan lahan BP Batam masih banyak masalah.
Pilkada sudah makin dekat dan Muhammad Rudi berniat maju menjadi “Kepri 1”.
Kepercayaan publik perlu dijaga kesinambungannya.
Jangan-jangan kinerja buruk pengelolaan lahan ini berpotensi atau berdampak miring pada klaim kinerja moncer Muhammd Rudi, selama ini. (*)