:batamnow:-MESKI direkomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun proses dan resiko opsi pembubaran Badan Pengusahaan (BP) Batam, tak sesimpel yang dibayangkan.
Berat konsekuensinya bagi pemerintah ke depan, bila BP Batam yang 47 tahun ini, dibubarkan permanen.
Apalagi diputusakan dalam interval waktu yang singkat dan tanpa persiapan konkrit.
Bila kondisinya demikian, diprediksi Batam berpotensi vakum.
Efek yang akan ditanggung, jauh lebih mahal dari sekadar membatalkan bebas cukai atas barang konsumsi, sebagai biang kerok.
Bisa jadi juga eksesnya lebih mahal dari temuan kerugian negara yang Rp 111 triliun itu.
Banyak pihak yang setuju pencabutan fasilitas bebas cukai itu. Ini memang lebih ideal, minim resiko.
Sebaliknya, pilihan opsi yang ekstrim itu diprediksi penuh resiko dan bisa menjadi blunder.
Misalnya, ratusan investasi asing dan domestik, bisa kocar-kacir di sini.
Padahal investasi mereka, sama sekali tak bertautan dengan fasilitas bebas cukai barang konsumsi tersebut.
Sebaliknya, pemerintah bisa keleleran menghadapi dampak negatif opsi pembubaran Free Trade Zone (FTZ) ini.
Tak terbantahkan, bila mucul berbagai sengketa perjanjian investasi, sebagai efek domino dari pembubaran, kelak.
Diperkirakan, imbas dari “bubar efek” itu, jatuhnya kepercayaan asing terhadap Indonesia.
Misalnya, kepercayaan dalam jaminan berinvestasi.
Sekarang saja, akibat polemik terus melanda Batam, para investor sudah banyak yang bimbang.
Lebih berat lagi nanti, Batam berpotensi digiring ke pengadilan arbitrase internasional, karena delik wanprestasi.
Mengganggu Kearifan Lokal
Bagi masyarakat lokal, efek pembubaran sangat tak arif. Ini menjadi sensitif dan merugikan.
Sebab kehidupan masyarakat di sini, sangat tergantung dengan BP Batam.
Badan ini hadir di Batam sejak tahun 1971, jauh sebelum pemerintahan Kota Batam terbentuk.
BP Batam kekuasaannya luas dan mengikat. Memiliki aset besar.
Lembaga Badan Layanan Umum (BLU) ini, kemungkinan jauh lebih kaya dari pemerintahan provinsi di sini. BP Batam, konon, memiliki aset 51 triliun.
Dia yang operator penyedia bahan baku air minum untuk konsumsi masyarakat. Memiliki berbagai dam penampung dan instalasi air baku.
Belum lagi monopoli hak kelola lahan seluas 1000 Km2. Baik lahan pemukiman penduduk dan lahan investasi berbagai kawasan industri.
Punya airport internasional sendiri, pelabuhan laut (kargo).
Belum lagi pemilik beberapa pelabuhan dan terminal kapal penumpang laut. Konon, memiliki saham di bright PLN Batam.
Banyak lagi kekuasaan lain di tangannya, yang berhubungan erat dengan hajat hidup orang banyak.
Termasuk bisnis zaman now, yakni IT Center yang tak banyak diketahui publik. Dan lainnya.
Ringkasnya, membubarkan BP Batam secara total, harus dipikir ulang.
Persiapannya mesti diantisipasi dengan solusi komprehensif, ke dalam dan eksternal.
Begitu luas dampak negatif yang terjadi, bila memilih opsi bubar pengelola FTZ ini.
Bagaimana pun juga, keberadaan kawasan ini tak boleh di lihat picing mata, meski sedang didera banyak masalah.
Sisi “intangible benefit” mesti menjadi pertimbangan, meski KPK menemukan sisi “potential loss” nya.
Ketimpangan antara biaya (cost) dibanding keuntungan (benefit), ini yang disoal.
Penyelundupan Peristiwa Klasik
Ekses dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ini memang sudah lama berlangsung.
Bahkan sejak awal, kegiatan yang merugikan negara ini sudah hal klasik.
Kalau bisa dibilang, penyelundupan sudah mentradisi di sini. Penampakannya, timbul tenggelam.
Ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah perjalanan kawasan ini. Daerah ini berbatasan dekat dengan Singapura dan Malaysia.
Bahwa masih terjadi penyelundupan sekarang ini, itu jugalah yang dilaporkan Dirjen Bea dan Cukai ke Presiden Jokowi.
Utamanya penyelundupan rokok dan mikol dari Batam, yang merugikan negara ini.
Sebenarnya, jauh sebelumnya, laporan yang sama dari Kemenkeu, konon , sudah dipasok ke meja Jokowi.
Tapi, presiden tak lantas mengambil keputusan yang ektrim, seperti rekomendasi KPK itu.
Itu makanya, konsep baru akan penyelesaian kawasan ini dibahas ekstra ketat, sebelum mengambil keputusan.
Pejabat ex-officio yang sedang difinalisasi, memang sangat lama eksekusinya. Belum final karena jalan penuh tikungan.
Terlepas itu semua, Batam masih punya potensi besar ke depan.
Itu makanya kita mesti menunggu keputusan Jokowi. Opsi, tanpa membubarkan BP Batam.
Kawasan ini sangat strategis dari aspek geoekonomi dan geopolitiknya.
Pengembangan kawasan ekonomi di sini masih diperlukan. Tentu di bawah intervensi pusat kekuasaan, sesuai amanat undang-undang.
Bagaimanapun, Batam harus diselamatkan. Sekali lagi, tanpa harus membubarkan BP Batam.
Perbaikan besar-besaran di tubuh BP Batam itu sendiri mesti dilakukan segera, karena banyak masalah.
Bila melihat kondisi terkini, mendesak untuk itu. Lihatlah pertumbuhan ekonomi Batam yang terjun bebas ke 4 persen dari 9 persen.
Banyak perusahaan tutup, lalu hengkang. Membludak penganguran. Kriminalitas juga makin meningkat.
Termasuk munculnya berbagai kasus penyelundupan. Tak kecuali dengan kasus mikol dan rokok tanpa cukai itu.
Belum lagi soal pelik dan ribetnya masalah pengelolaan lahan.
Proses perizinan yang masih ada kendala, meski ada OSS (Online Single Submission). Pun sudah ada mal pelayanan dengan klinik berusahanya.
Banyak spekulan, juga para mafia lahan yang belum pernah dijerat hukum. Ini menambah kerumitan.
Segudang permasalahan di BP Batam penyebab “gagal misi” itu. Bukti sudah ditemukan. Paling tidak atas temuan KPK itu.
Vonis pun, satu-satu mulai dijatuhkan.
Salah satunya, pencabutan insentif dan fasilitas fiskal atas bebas cukai rokok dan mikol.
Kita berharap, KPK dapat membongkar kasus-kasus lain di tengah carut-marutnya perjalanan BP Batam. Apalagi permasalahan laten, tentang lahan itu.
Kontrol dari eksternal seperti itu meski didorong dan diapresiasi terus, demi mengulik kasus-kasus yang terpendam.
Ini juga bagian dari penyelamatan BP Batam. Di samping solusi konkrit komprehenshif, untuk meneruskan pengembangan kawasan ekonomi di sini.
Saatnya Jokowi memutuskan solusi cepat. Sengkarut Batam tak bisa berkepanjangan.
Keputusan cepat dan arif tanpa harus “membakar rumah” Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (KPBPBB) atau FTZ Batam.
Ini tesis peta jalan atau “road map” yang dapat dipertimbangkan.
(Red-1)